Monday, December 1, 2008

Kisah Relawan Kemanusiaan Di Aceh (Tsunami)


Ketika Tsunami Merombak Aceh

Catatan Relawan Kemanusiaan Hilmy Bakar

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Allah) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami pada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (al-A'raf : 96-98)

Wanita separuh baya itu sedang berjuang melawan maut, dari raut wajahnya terpancar keletihan, ketakutan dan kepanikan mendalam. Di sepanjang jalan yang dilaluinya ia berteriak-teriak meminta pertolongan, menyeru penuh harap dengan suaranya yang sudah parau. Namun yang dimintai pertolongan juga sedang mengalami keadaan serupa, seluruh kota dilanda kepanikan luar biasa. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, dia terus berjuang, tidak mengalah, berlari dan berlari sekencang-kencangnya sambil meneriakkan kebesaran Allah, "Allahu Akbar, Allahu Akbar" serunya. Sementara langhahnya tersendat-sendat, karena kedua tangannya menenteng anak-anak kecil, beberapa lagi bergelayutan memegang ujung dasternya. Langkah paniknya diikuti beberapa gadis tanggung yang juga ketakutan, hanya mengikuti langkah wanita di depannya. Mereka berlari, dan terus berlari menyelamatkan diri dari terjangan gelombang air hitam pekat yang penuh dengan berbagai material, melaju 200 km/jam melibas apapun yang didepannya tanpa ampun. Ahirnya rombongan wanita ini berhasil menyelamatkan diri di depan Raya Masjid Baiturrahman, sementara yang lain, jumlahnya ratusan ribu lagi meninggal hanyut tergulung dahsyatnya terjangan gelombang tsunami yang melanda Kota Banda Aceh, Serambi Mekah. Sebuah stasiun TV nasional menyiarkan rekaman perjuangan hidup wanita dan rombongannya ini berulang-ulang.
Di tempat lain, di pinggiran pantai Ulee Lheue, kepanikan lebih dahsyat lagi. Setelah terjadi gempa besar, sekumpulan pemuda, diantaranya bernama Udin yang penulis temui di Ulee Lheue 4 hari setelah kejadian, berteriak mengigatkan akan adanya gelombang pasang sambil berlari-lari. Dengan sekuat tenaga ia berlari dan berteriak "ada gelombang besar air laut" berkali-kali sambil menyuruh orang-orang menyelamatkan diri. Dari arah laut, terdengar suara menderu-deru bak kapal perang dengan kecepatan tinggi, datang gelombang raksasa setinggi 20 meteran menerjang apa saja yang ada di depannya. Melihat keadaan ini, beberapa orang, termasuk Udin berlarian ke arah masjid Baiturrahim, yang persis berada di bibir pantai Ulee Lheue. Dari lantai dua masjid mereka menyaksikan dahsyatnya gelombang tsunami yang meluluh lantakkan Banda Aceh. "Rumah-rumah disapu bersih, seperti dibouldozer, tercabut sampai ke pondasi-pondasinya" kenangnya. Gelombang dahsyat tsunami telah meratakan bangunan sepanjang hampir 5 kilometer dari batas pantai, namun Masjid Baiturrahim selamat dari terjangan gelombang. Dia menyaksikan ribuan manusia terapung-apung dibawa arus, tak berdaya menahan hantaman gelombang yang bergulung-gulung menyapu. "Ngeri, pak, ngeri sekali" katanya dengan bibir bergetar.
Amin, bukan nama sebenarnya, nelayan yang selamat di pantai berdekatan komplek makam Syiah Kuala, menceritakan peristiwa yang di alaminya dengan meneteskan air mata. "Pagi itu", ungkapnya, "saya sedang beristirahat di rumah, karena malam sebelumnya melaut". Tiba-tiba terjadi ledakan dahsyat yang diikuti dengan gempa besar cerita Amin. Dia terbangun, lari ke luar rumah, membawa anak dan istrinya. "Saya lihat ke pantai, terjadi air pasang beberapa kilo meter, namun tidak lama setelah itu datang gelombang raksasa setinggi 4 atau 5 kali pohon kelapa. Dengan menenteng anak dan istinya, Amin berlari sekuat tenaga, namun baru sekitar 100 meter, gelombang telah menerjangnya. Anak dan istrinya lepas dari genggamannya, dia berusaha berjuang melawan dahsyatnya gelombang, sampai tidak sadarkan diri. "Ketika bangun, saya sudah berada sekitar 4 kilometer dari rumah saya" katanya sambil menahan napas, anak dan istrinya tidak ditemukan. "Alhamdulillah saya selamat, tapi saya sudah tidak punya apa-apa lagi" katanya lirih sambil menunjukkan luka-luka disekujur tubuhnya.
Lain halnya dengan cerita ayah Amin, yang juga selamat. Dengan muka sedu sedan, diapun mulai berbicara."Sebenarnya saya terlalu sedih untuk menceritakan peristiwa ini", katanya di samping makam Syiah Kuala yang saya temui setelah 5 hari kejadian. "Itu bekas tapak rumah saya, yang ada pohon kelapanya", ia menunjuk sebidang tanah kosong di pinggir pantai. "Saya takut dibilang provokator kalau saya ceritakan kejadian ini" katanya. Penulis terus membujuknya agar ia bersedia membagi pengalamannya agar menjadi pelajaran kita yang hidup. Dengan terbata-bata ia memulai ceritanya. "Pagi itu, sekitar jam enam pagi saya pergi ke kota untuk menjual ikan, jadi bapak tidak mengalami peristiwa gelombang tsunami." Dengan mata berbinar-binar, sambil mengingat-ingat kejadian yang menimpanya. "Malam sebelum kejadian, bertepatan dengan malam minggu, ada beberapa anggota Brimob yang lagi piket di Pos Polisi di situ". Sambil penunjuk pondasi sebuah bangunan berdekatan dengan komplek makam Syiah Kuala. "Mereka, anggota BKO Brimob itu, menggelar acara dengan bernyanyi-nyanyi dan berjoget". Di tengah acara datang penunggu makam yang memperingatkan mereka jangan berbuat maksiat di dekat komplek makam. "Namun seperti biasa, mereka mengacuhkan peringatan itu, bahkan mereka mengancam dengan todongan senjata". Orang tua itupun berlalu, sambil mengatakan "Kalau terjadi apa-apa, saya tidak bertanggung jawab", dia masuk komplek dan sholat di surau komplek makam Syiah Kuala. Maka paginyapun terjadi bencana ini. "Pak,....." katanya dengan menahan kesedihan yang mendalam, sambil meneteskan air mata, ia berujar lirih "Bangsa ini sedang di azab karena telah berlaku zalim, tapi saya belum faham, kenapa terjadinya di Aceh". Ketidakfahaman inilah yang menyelimuti masyarakat Aceh.

@@@@@@

Minggu pagi, 26 Desember 2004 masyarakat di sekitar Banda Aceh panik luar biasa, suasana mencekam, diliputi ketakutan luar biasa. Suara teriakan sahut menyahut, permintaan tolong sahut bersahutan, anak-anak menangis ketakutan, ibu-ibu sibuk menyelamatkan anaknya, para bapak sibuk menyelamatkan harta bendanya. Masyarakat lari berhamburan, berlindung di tempat yang tinggi, memanjat pohon kelapa, mengambil apa adanya untuk menyelamatkan diri dari bencana dahsyat gelombang tsunami. Hampir semua saluran tv nasional dan internasional memberitakan bencana dahsyat ini.
Hari itu, masyarakat di sekitar Banda Aceh sibuk melakukan aktivitas rutin di hari libur mereka seperti hari-hari minggu sebelumnya. Ada yang sibuk mempersiapkan perdagangan di pasar, membuka restoran dan warung kopi yang khas, bersenam ria, menikmati keindahan pantai, ngobrol di pinggir jalan sambil sarapan atau bermalas-malasan di rumah menikmati hari libur natal dan tahun baru. Hari minggu adalah hari libur di Aceh, walaupun provinsi ini telah menyatakan pemberlakuan syari'at Islam, namun tetap mengikuti hari-hari libur nasional, tidak seperti negara-negara Islam yang menetapkan hari jum'at sebagai hari libur.
Beberapa tahun terahir ini, kegiatan masyarakat Aceh, khususnya di kota-kota besar seperti Banda Aceh berjalan seperti biasa. "Walaupun diberlakukan keadaan Darurat Militer atau Sipil di sini, namun keadaan tetap seperti ini" kata Hasri, teman yang mengantarkan saya mengelilingi Banda Aceh dan sekitarnya di awal tahun 91-an. Pertengahan 94-an saya berkunjung kembali dengan Adi Sasono bersama rekannya bernama pak Alatas yang sempat mengelilingi Aceh sampai batas ujung barat Indonesia, di Sabang, pulau Weh. Terahir awal 2003 saya datang dengan membawa misi Hilal Merah ke Aceh, keadaan tetap berjalan seperti dahulu. Berbagai kesibukan masyarakat Aceh yang khas tidak berubah sejak beberapa tahun terahir, walaupun macam-macam status yang diberikan Jakarta kepada Aceh, ya masyarakat Aceh tetap saja menikmati kehidupannya seperti sedia kala.
Nmun berbeda halnya, hari minggu 26 Desember 2004. Ketika jarum jam menunjukkan angka pukul 08.20an, tiba-tiba terjadi gempa berkekuatan di atas 9 pada skala rechter yang membuat kepanikan luar biasa, masyarakat yang tadinya asik dengan aktivitasnya, tiba-tiba panik berhamburan, berteriak histeris dan berusaha menyelamatkan diri dari dahsyatnya goncangan gempa bumi yang mengayun-ayun kota ke kiri kanan, atas bawah, sampai-sampai tidak ada yang sanggup berdiri akibat besarnya goncangan,
Gempa besar yang terjadi telah memaksa orang-orang berhamburan lari ke luar rumah, berkerumun di pinggir jalan, di halaman dan tempat lapang agar tidak tertimpa bangunan yang roboh. Gempa besar telah meruntuhkan bangunan-bangunan bertingkat, masjid, rumah-rumah, toko dan meretakkan sebagiannya. Masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya panik luar biasa, bertanya-tanya, apakah yang terjadi? Bahkan sebagian dari mereka berseru "kiamat telah tiba", "kiamat", "kiamat" sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur'an yang menjadi bacaan wajib masyarakat Aceh dari buaian ibunda sampai ke liang lahat.
Setelah goncangan dahsyat gempa berhenti, di tengah-tengah kepanikan masyarakat yang belum sadar diri, orang-orang di pinggir laut melihat air surut sejauh beberapa kilometer. Namun dengan tiba-tiba, berselang 10-15 menit, air laut yang surut, kembali pasang dengan gelombang setinggi 18-24 meter, dengan kekuatan lebih 200 km/jam menyapu bersih apapun yang didepannya. Masyarakat yang lagi panik di rumah dan di pinggir jalan tersapu gelombang tsunami yang dinyatakan sebagai gelombang tsunami terdahsyat sejak 200 tahun lalu.
Untuk provinsi Nanggroe Aceh Darussalam saja tercatat korban meninggal lebih dari 160 ribu jiwa, dinyatakan hilang lebih dari 120 ribu jiwa, yang menjadi pengungsi lebih dari 500 ribu jiwa dan kerugian material diperkirakan lebih dari 5 milyard USD. Kota Banda Aceh yang indah permai dengan segala peninggalan sejarahnya luluh lantak tersapu gelombang tsunami sepanjang 5 kilometer dari laut, menyisakan puing-puing reruntuhan yang mengerikan. Karena dahsyatnya bencana ini, dunia menyatakannya sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang penangangannya melibatkan dunia internasional yang dikordinasikan dengan lembaga-lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa.
Banyak orang bertanya, khususnya masyarakat Aceh yang selamat dari bencana, kenapa Allah Yang Maha Perkasa memberi ujian maha dahsyat kepada orang Aceh yang terkenal tradisi keislamannya sejak zaman dahulu? Bahkan Aceh di kenal sebagai "Serambi Mekah" yang menandakan kealiman dan keteguhan masyarakatnya pada ajaran Islam. Mereka seakan terheran-heran dan tidak dapat mempercayai kenyataan yang telah terjadi. Bukankah di dalam keyakinan masyarakat Aceh yang Islami, hanya orang-orang durhaka saja yang akan mendapat azab maha dahsyat ini. Nah, permasalahannya, apakah memang sudah sepantasnyalah masyarakat Aceh mendapat azab ini karena kedurhakaan mereka yang melampaui batas, melampaui kelakuan saudara-saudara mereka di Jakarta misalnya, masyarakat yang penuh dengan kemaksiatan, hedonis, bahkan diliputi dengan kefasikan dan kekufuran yang amat pekat.
"Tidak ada yang menyangka akan terjadi bencana dahsyat ini, pak" kata seorang relawan asal Aceh bernama Ramli berulang-ulang dengan logat Acehnya yang kental, terkadang diikuti dengan tetesan air matanya. "Menurut bapak, ada apa ini ?" tanyanya terus menerus dengan muka yang sedu sedan seakan coba memahami hakikat kejadian yang baru dialami masyarakatnya. Kegundahan Ramli mewakili kegundahan hati masyarakat seluruh dunia, terutama bangsa Indonesia yang berbondong-bondong membantu saudaranya.

@@@@@@@@

Saya pertama kali datang ke Aceh pada tahun 1985an untuk melihat langsung bumi ”Serambi Mekah” yang selalu menghiasi cerita-cerita dongeng penyebaran Islam ketika kecil dulu. Pada tahun 1991 saya kembali bersama beberapa aktivis Islam dari Malaysia mengadakan survei dan pemetaan dakwah serta meneliti perbandingan kebangkitan Islam antara Aceh dengan kota-kota besar Kedah malaysia dan Fatani, selatan Thailand. Pada saat itu Aceh dalam keadaan Daerah Operasi Militer (DOM). Pada saat itu saya melihat masyarakat umumnya hidup dalam keadaan susah, tertekan dan penuh kecurigaan kepada orang luar. Rezim Soeharto menerapkan politik yang sangat menekan masyarakat, sehingga timbul ketidakpuasan yang meluas yang berujung dengan lahirnya beberapa kelompok sparatis yang ingin memerdekakan diri dari NKRI. Pemberontakan ini lebih karena kezaliman pemerintah pusat kepada Aceh yang selama perjuangan kemerdekaan dikenal sebagai daerah modal bagi perjuangan kemerdekaan. Apalagi secara historis, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang menjunjung tinggi agama dan harga diri, pantang menyerah dalam melawan kebathilan sehingga pemerintah kolonial tidak berhasil menjajah Aceh, kecuali hanya beberapa tahun saja akibat perlawanan yang gagah perkasa.
Menurut beberapa analisis teman-teman cendekiawan muda yang sering mengadakan diskusi di sebuah universitas Islam Malaysia, pada dasarnya pemberontakan, atau tepatnya perlawanan masyarakat Aceh, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, merupakan respon mereka terhadap penindasan dan ketidakadilan kebijakan pemerintah pusat kepada Aceh yang telah dipaksakan penerapannya yang berlindung dibalik slogan pembangunan dan modernisasi. Apa yang terjadi adalah sebuah proses terstuktur yang akan mencabut akar tradisi masyarakat Aceh, menggantikan tradisi Aceh yang Islami dengan tradisi sekuler yang asing bagi masyarakat Aceh. Jadi tidak diragukan pergolakan-pergolakan yang terjadi selama ini karena Aceh akan dipisahkan dari akar tradisinya dan akan dipaksa mengikuti tradisi lain atau apa yang mereka istilahkan dengan de-civilization, de-culturuzation bahkan de-islamization.
Masuknya aparat keamanan selama diberlakukannya DOM dan tibanya pendatang dari daerah lain telah mempengaruhi perubahan sosial di Aceh. Bahkan sebagian dari kebiasaan-kebiasaan luar dipaksakan kepada masyarakat Aceh. Sebagai contoh sebagaimana diceritakan seorang Profesor Aceh, di sebuah pantai dekat Ulee Lheue orang-orang tua melarang anak-anak muda berkhalwat atau berpesta pora sampai maghrib atau malam. Namun masuknya aparat keamanan yang memaksakan kemauannya dengan todongan senjata telah merubah tradisi mulia tersebut. Dengan berbagai bentuk pemaksaan aparat keamanan telah berperan besar dalam merubah kebiasaan masyarakat Aceh, terutama generasi muda yang digiring untuk mengikuti tradisi yang asing. Masyarakat Aceh yang agamis, mulai terkikis dari akar tradisinya. Mereka mulai mengikuti cara-cara hidup yang bertentangan dengan tradisi dan leluhur masyarakat Aceh yang dinamis.
Secara kultural, masyarakat Aceh dipaksakan untuk menerima sebuah tradisi asing, yang menurut sejarahnya adalah sebuah tradisi yang diperangi dari generasi ke genarsi oleh para pejuang Islam sepanjang 5 abad di bawah kepemimpinan para Sultan Islam. Tradisi yang biasa disebuat oleh para cendekiawan Aceh sebagai tradisi Jawa-Majapahit, yang menggunakan simbol-simbol Animis-Hindu-Budha dalam sebuah adonan Kejawenisme yang dibalut dengan mengatasnamakan nasionalisme Indonesia. Banyak pakar menilai bahwa perlakuan Jakarta terhadap Aceh adalah sebuah upaya balas dendam kultural tersistematis kelompok kecil elit Jawa keturunan ningrat-ningrat Kejawen yang menguasai pemerintah atau militer yang menyimpan dendam atas kehancuran Kejawenisme-Majapahit oleh peradaban baru berdasarkan Islam yang dibawa para pejuang dan pendakwah Aceh Perlak-Pasai. Perlu dicatat bahwa runtuhnya Majapahit adalah akibat lahirnya Kerajaan Islam Demak yang dipimpin Raden Fatah, yang ibunya berasal dari keluarga Kerajaan Islam Jeumpa-Aceh yang mendapat pendidikan paman dan kakeknya seperti Sunan Ampel dan terutama Maulana Malik Ibrahim yang menjadi promotor utama gerakan Wali Sembilan (Wali Songo).
Semakin lama, semakin jauh masyarakat Aceh dari akar tradisinya. Kedatangan aparat keamanan dalam jumlah yang besar untuk menjalankan operasi pemberantasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tentu membawa dampak yang besar bagi masyarakat, terutama generasi mudanya. Apalagi adanya kebiasaan buruk aparat yang sok jagoan dan sok kuasa yang menekan dan mendiskreditkan masyarakat, terutama generasi muda yang menjadikan masyarakat Aceh minder, tertekan, bahkan ketakutan, terutama kepada aparat yang ditugaskan negara untuk menjaga mereka. Tekanan-tekanan yang diberikan aparat dilain pihak telah menumbuhkan semangat kebencian dan perlawanan, yang ahirnya kelompok ini bergabung dengan GAM. Ketakutan masyarakat bertambah meluas, ketika aparat selalu mengaitkan seseorang yang tidak disenanginya sebagai anggota GAM. Keadaan ini benar-benar telah menjadikan masyarakat Aceh dalam keadaan tertekan, social stess.
Tentang situasi Aceh digambarkan dengan tepat oleh intelektual muda Aceh, Apridar dalam bukunya Tsunami Aceh, Azab atau Bencana. Dia menulis :
”Aceh adalah Serambi Mekah yang semenjak berlakunya DOM (Daerah Operasi Militer) 1989-1998 berubah menjadi Serambi Maksiat. Banyak pihak sudah khawatir dengan maraknya maksiat di Aceh ini. Peringatan yang lebih dini sudah ditunjukkan oleh Teungku Bantaqiah nun jauh di Aceh Barat dan Aceh Selatan sana. Ia, dengan Gerakan Jubah Putihnya pada tahun 1986, telah mengingatkan para pejabat dan aparat di Aceh untuk berhenti berbuat maksiat di Serambi Mekah. Namun, peringatan ulama ahlus-Tsughur ini dijawab dengan penghadangan bergaya militeristik. Ia malah dianggap sebagai "krikil dalam sepatu NKRI" yang mengganggu stabilitas dan kedamaian. Sejarah gerakan anti maksiat di Aceh kemudian berhenti sejenak. Beberapa tahun kemudian, turunlah mahasiswa yang terusik nuraninya ke jalan-jalan di Banda Aceh. Mahasiswapun menggelar demo di Kampus Darussalam, Banda Aceh, dengan poster-poster yang tajam, keras dan kasar atas maksiat yang melaju dengan pongahnya di sepanjang pesisir pantai Aceh. Maksiat yang tadinya sudah diberi ruang gerak yang leluasa di hotel-hotel mewah Aceh, kini malah menggurita ke berbagai wilayah, khususnya sepanjang pantai. Para Mahasiswa menantang berdialog dengan Komandan Korem 012 Teuku Umar, Kolonel CZI Syarifuddin Tippe. Tantangan yang sama juga menyerang Sekda Aceh Besar Drs. H. Baswedan Yunus. Namun semua aparat dan pejabat terdiam seakan ada setan besar yang tak mampu dihadapi.” ( hal : xi)

@@@@@@

Minggu sore, 26 Desember 2004, ketika mengendarai Ovel Blazer kesayangan saya dari Tanjung Priok ke arah Bogor, seorang teman mengirim sms. Isinya "Aceh dilanda gempa berkekuatan besar yang diikuti gelombang tsunami, apa artinya ini ustadz?”. Saya tidak tau apa yang tengah terjadi sebenarnya karena pada hari ini ada pekerjaan serius di lapangan yang harus ditangani dengan seluruh kemampuan. Pertanyaan itupun saya teruskan ke beberapa orang, termasuk ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang ditahan di penjara Cipinang. Dengan segera beliau menjawab, "tanda-tanda ahir zaman, perbanyaklah mengingat Allah dan kuatkan beribadah kepada-Nya". Jawaban ustadz Ba'asyirpun saya teruskan ke teman tadi. Sampai saat itu saya belum sadar, apa yang tengah terjadi di Banda Aceh.
Sesampai di vila peristirahatan saya di pinggiran Bogor, setelah istirahat sejenak, saya buka saluran favorit saya, Metro TV dan langsung terperanjat menyaksikan apa yang terjadi di Banda Aceh. Beberapa saat kemudian saya menghubungi Habib Rizieq, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) dan sekjennya Farid Poniman. Apa yang mesti dilakukan untuk membantu masyarakat Aceh. Saya meyakinkan mereka agar FPI mengambil peran besar dalam bencana di Aceh sebagai salah satu program pembentukan citra yang telah dicanangkan dalam musyawarah nasional pertama Desember tahun lalu. Sebagai Ketua Eksternal FPI dan sekaligus Direktur lembaga kemanusiaan Hilal Merah (Red Crescent), saya terus memantau keadaan dan menghubungi beberapa teman-teman gerakan Islam lainnya. Diputuskan untuk membuka posko nasional FPI di Medan agar mudah berkordinasi dengan Banda Aceh dan saya ditugaskan memimpin di sana, tapi penerbangan menuju Medan sudah penuh semua.
Setelah hilir mudik mencari angkutan, selasa pagi, 28 Desember, seorang rekan relawan menawarkan penerbangan ke Medan. Tanpa fikir dua kali saya terima. Jam 11 siang saya sudah di Bandara Halim yang hiruk pikuk dengan pemberangkatan relawan ke Aceh dari berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Di Halim saya bertemu dengan Menpora, Adyaksa Dault dan berbincang tentang persiapan keberangkatan relawan ke Aceh. Setelah di landa kepanikan dan ketidak pastian, ahirnya saya dapat pesawat yang dicarter Kementerian BUMN untuk relawan yang akan ke Aceh dan transit di Medan. Tanpa membawa bekal apa-apa, saya fikir nanti akan dipersiapkan Posko Medan, ahirnya saya naik pesawat pada jam 20 malam, yang ternyata tidak transit di Medan, tapi langsung ke Banda Aceh. Segalanya saya serahkan kepada Allah yang akan menentukan perjalanan ini, dan saya yakin bahwa ini adalah jihad fi sabilillah.
Setelah transit 30 menit di Pakan Baru, pesawat Pelita Air yang kami tumpangi bersama rombongan relawan Kem.BUMN, terbang kembali langsung menuju bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Saat transit saya sempatkan membeli makanan ala kadarnya untuk menopang kehidupan di Banda Aceh, karena saya dengar telah terjadi kekuarangn makanan dan kelaparan yang meluas. Pesawat yang kami tumpangi mendarat setelah beberapa kali berputar-putar di udara karena penuhnya lalu lintas penerbangan. Menjelang tengah malam, kami selamat mendarat, dan langsung menyaksikan kesibukan dan kepanikan yang luar biasa di bandara yang dipenuhi dengan relawan dan pengungsi yang ingin meninggalkan Banda Aceh. Tengah malam itu juga saya langsung ke Kota Banda Aceh menumpang pikc up butut relawan dari MER-C. Sepanjang jalan tercium bau anyir mayat, setelah 40 menit perjalanan dengan mobil yang penuh barang dan kami sampai di pos MER-C di tengah Kota Banda Aceh.
Setiba di Banda Aceh, kami singgah di pos relawan MER-C. Setelah istirahat sejenak dan mendapat informasi terkini dari rekan yang sudah tiba duluan, saya dengan beberapa rekan tim medis memutuskan untuk melihat-lihat keadaan kota Banda Aceh, terutama menemui pihak-pihak terkait yang dipusatkan di Pendopo Gubernuran. Di tengah malam yang gelap gulita, di antara reruntuhan bangunan yang sesekali masih di guncang gempa, dengan bantuan penerangan senter, rombongan kami tersesat jalan, tidak sampai di pendopo, tapi malah menyebrangi sungai yang penuh dengan mayat bergelimpangan. Setelah berjalan sekitar 20 menit, kami sampai di RS Kesdam yang penuh dengan pasien. Di sepanjang koridor, saya saksikan ratusan pasien yang tidak terawat, penuh dengan luka, sebagiannya teriak-teriak dan beberapa diantaranya sudah mendekati ajal. Ironisnya, dalam keadaan seperti ini, tidak ada satupun dokter ataupun perawat yang menangani pasien, kami kebingungan, dan ahirnya rekan-rekan dokter menjalankan tugas mereka membantu pasien. Malam itulah pertama dalam hidup saya menyaksikan begitu banyak manusia yang menderita namun tidak tertangani, dan saya menyaksikan diantara mereka yang wafat.. Innalillahi wa Innailaihirojiun, sesungguhnya semua datang dari Allah dan akan kembali pulang kepada-Nya pula.
Menjelang subuh, rombongan kami berjalan menuju Pendopo melalui pekatnya kegelapan malam. Seakan kami tengah berjalan di sebuah kota mati, yang tanpa penerangan, penuh timbunan kayu dan berbagai material sisa-sisa bencana. Setelah beberapa menit berjalan, kami melalui masjid raya Baiturrahman, masjid kebanggaanku selama ini, yang selalu saya singgahi jika ke Banda Aceh. Keadaannya gelap gulita, dihalamannya penuh dengan sisa-sisa reruntuhan, dan saya dengar mayat-mayat masih banyak yang tersisa di halamannya. Ketika berada di depan masjid Baiturrahman, terjadi gempa besar yang menggoncang kami, terdengar suara bangunan-bangunan yang beradu dan orang-orang yang lari berhamburan ke jalan-jalan, yang menambah suasana kengerian. Rombongan kami tiba di pendopo Gubernuran NAD menjelang subuh, semua terlelap tidur, sehingga tidak ada yang menemui kami. Tidak ada orang yang dapat kami ajak bicara dan menanyakan suasana terahir.
Setelah istirahat sejenak, kami solat subuh di Pendopo, yang ternyata penuh dengan pejabat, relawan, wartawan dan pengungsi. Tidak banyak info yang kami dapatkan, kecuali mengetahui secara garis besar apa yang terjadi. Kami juga ingin memastikan keadaan, karena beredar isu-isu akan terjadi tsunami susulan yang meresahkan masyarakat. Menjelang terbit matahari rombongan kembali ke posko MER-C.

@@@@@@@@@@@

Pagi, 29 Desember 2004, setelah mandi ala kadarnya dan sarapan, saya keluar dengan mengenakan topi dan rompi Front Pembela Islam (FPI) untuk memastikan apa yang terjadi. Dengan berjalan kaki, tempat pertama yang saya kunjungi adalah masjid raya Baiturrahman yang berada di pusat kota Banda Aceh. Pagi itu keadaan masih lenggang, sepi, tidak terlihat keramaian sebagaimana keadaan sebelum-sebelumnya yang penuh sesak. Biasanya disekeliling masjid penuh dengan warung kopi tempat masyarakat Aceh memulai kehidupannya, sarapan sambil ngobrol. Di halaman masjid saya menemui beberapa perwira tentara sedang mengatur pasukannya yang menyingkirkan tumpukan material dari halaman masjid. Saya langsung menuju masjid dan masuk ke dalam, tanpa memperhatikan keadaan sekeliling. Begitu sampai di tengah-tengah masjid, baru saya sadar, saya berada ditengah-tengah sisa-sisa darah dan potongan-potongan kulit mayat yang mulai membusuk. Masya Allah...., seakan isi perut saya akan keluar, karena tidak tahan baunya. Dengan penahan napas dan muntah, saya berlari keluar masjid untuk mencari udara segar. Di tengah kegalauan hati, saya pandang sekeliling, tidak ada kata-kata yang mampu terucapkan, kecuali hanya menyeru, "Maha Suci dan Maha Besar Allah dengan segala Kekuasaan-Nya".
Pagi itu di halaman masjid saya bertemu dengan KSAD, Jendral Ryamizard Ryachudu dan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. Saya menghampiri mereka yang dikelilingi beberapa orang jendral, di antaranya Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya. Saya informasikan kepada KSAD, Front Pembela Islam akan mengirimkan ratusan relawan dari seluruh Indonesia dan meminta agar dapat dibantu memberikan fasilitas. Pak Ryamizard berjanji akan membantu dan menitipkan kepada Pangdam. Demikian pula kepada Ketua MPR, Pak Hidayat, saya memohon bantuan doa agar diberi kekuatan dan kemudahan, yang dianggunggukannya sambil memesan agar saya menjaga kesehatan selama berada di Aceh. Dengan Pak Hidayat, saya kenal lama, terutama ketika beliau ikut menjadi pembanding ketika peluncuran buku saya "Panduan Jihad Untuk Aktivis Islam" di Jakarta pada pertengahan 2001.
Setelah berkeliling melihat suasana kota yang porak poranda, saya kembali ke pos relawan MER-C untuk meminjam telpon. Saya menelpon Habib Rizieq dan Farid Poniman agar segera dikordinasikan pengiriman relawan dan bantuan kemanusiaan ke Banda Aceh. Yang paling penting saya pesankan agar segera mengirim relawan yang dapat membantu evakuasi mayat yang masih berserakan dan tidak terurus dengan selayaknya sebagaimana diajarkan Islam. Jika mampu para relawan diharapkan dapat membawa perlengkapan sendiri, terutama makanan agar tidak memberatkan masyarakat yang sudah tertimpa musibah.
Untuk sementara, saya putuskan membuka posko di Masjid Baturrahman dengan tenda pleton ABRI yang kami dapatkan dari Pangdam dan Kodim Banda Aceh. Posko yang kami dirikan di depan masjid raya Baiturrahman dijadikan untuk posko bersama dengan gerakan Islam lainnya, seperti Hizbut Tahrir, PII, GPI dan lainnya. Kami bersama-sama dengan aktivis gerakan Islam saling bantu membantu untuk melancarkan tugas-tugas kemanusiaan, sesuai dengan kemampuan yang kami miliki. Disamping itu, saya mencoba untuk mekrut relawan lokal dari pemuda-pemuda Aceh yang diberi imbalan ala kadarnya untuk membantu mengerjakan kegiatan kami, terutama untuk membantu membersihkan masjid, mengevakuasi mayat dan membuka dapur umum. Namun kebanyakan pemuda-pemuda Aceh dalam keadaan trauma, sehingga mereka takut mendekati mayat yang sudah mulai membusuk. Alhamdulillah, relawan bantuan kami datang dari Medan sekitar seratus orang dengan membawa logistik. Pada awalnya masalah utama yang kami hadapi adalah tidak adanya air bersih di sekitar masjid dan udara yang sangat pengap yang bisa membahayakan kesehatan relawan. Setelah mencari tempat yang sesuai, posko relawan FPI dan Hilal Merah saya pindahkan ke Taman Makam Pahlawan Banda Aceh dengan pertimbangan keamanan dan kesehatan. Di depannyapun terdapat sebuah masjid besar yang dapat kami jadikan tempat sholat berjamaah dan pengajian untuk memberi semangat kepada relawan yang bertugas mengevakuasi mayat.
Setelah posko Taman Makam Pahlawan berfungsi, banyak masyarakat yang datang meminta bantuan, terutama untuk mengevakuasi mayat keluarga mereka yang masih tertimbun direruntuhan rumah mereka, disamping untuk membantu pendistribusian makanan bagi pengungsi. Sejak saat itu, posko ini di kenal dengan Posko Pemburu Mayat. Bersamaan dengan itu, para relawan sudah mulai berdatangan dengan bertahap, yang jumlah seluruhnya lebih dari 1000 orang. Untuk memudahkan pengkordinasian, saya membentuk Badan Logistik yang bertugas untuk mempersiapkan segala kebutuhan logistik relawan yang dipimpin oleh Dendam Prama Pandu. Alhamdulillah, relawan yang saya pimpin dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, walaupun penuh dengan suka dan duka yang tidak mungkin dilupakan. Sejak penemuan jenazah Sayyid Hussaini, Ka Humas Polda NAD oleh tim relawan kami, masyarakat dan pemerintah mulai memberikan bantuan dan perhatian kepada relawan kami yang penuh dengan kekurangan. Bantuan dari Menko Kesra Alwi Shihab dan Pang Ops. Mayjen Bambang Dharmono telah banyak memberikan kemudahan untuk aktivitas relawan kami.
Semakin banyak relawan kami yang datang secara bergelombang via laut dan udara, maka semakin banyak pula aktivitas yang dapat dilakukan, disamping mengevakuasi mayat, relawan kami juga mengadakan pengobatan keliling, membersihkan masjid, mendistribusikan bantuan ke pengungsi, membuat pompa air dan lainnya. Pemerintah memberikan bantuan 10 truk dan 1 mobil kijang untuk memudahkan kegiatan relawan kami, melengkapi beberapa mobil operasional yang kami bawa dari Jakarta.

@@@@@@@@

Pagi-pagi di pertengahan Januari 2005, beberapa wartawan bule datang ke Posko di Taman Makam Pahlawan dengan bergegas. Komandan piket memberitahu kehadiran rombongan wartawan, dan saya persilahkan mereka untuk masuk dalam tenda darurat yang memang disiapkan untuk menerima tamu-tamu yang ingin mendapatkan informasi. Saya lihat ada wartawan dari CNN, CNBC, ABC dan banyak lagi yang mayoritasnya dari media asing, terutama Amerika, Australia dan beberapa negara Eropa. Bahkan TV Spanyol membuka posko siaran langsungnya di depan posko kami.
Setelah kumpul, saya bertanya kepada mereka tentang maksud kedatangannya pagi-pagi, seperti ada berita besar sambil tersenyum dengan bahasa Inggris sedikit logat Malaysia saya. Dengan sedikit agresif seorang wartawati dari Australia bertanya kepada saya dengan bahasa Inggris Australianya. ”Apa pendapat Anda tentang statemen Kantor Pusat Gerakan Aceh Merdeka di Swedia yang menolak kehadiran kelompok radikal Islam seperti Front Pembela Islam di Aceh, karena rakyat tidak membutuhkan kehadiran Anda dan group anda”.
Agak linglung juga saya menjawab pertanyaan ini. Karena memang saya belum mendapat informasi banyak dengan statamen yang dikeluarkan GAM Swedia itu. Karena belum faham, saya minta di antara mereka mau menjelaskan duduk perkaranya. Dan salah seorang reporter wanita dari CNN menjelaskan tentang statemen resmi yang telah dikeluarkan Kantor Pusat GAM di Swedia yang tidak menghendaki kehadiran kami karena tidak dibutuhkan rakyat Aceh, karena gerakan Islam radikal seperti FPI tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Aceh dan itulah sebabnya masyarakat menolak kehadiran kami. Demikian pula kami dicurigai sebagai organisasi bentukan tentara dan orde baru yang pro Soeharto untuk melawan gerakan-gerakan pro reformasi di Jakarta. Kami dicitrakan sebagai sekumpulan preman jalanan yang mengutip duit dari diskotik dan bar, jika tidak diberikan, maka kami akan menyerbu dan merusak tempat-tempat maksiat tersebut.
Saya tertegun sejenak, antara percaya dan tidak percaya dengan statemen dari para pejuang yang selama ini dianggap ingin menegakkan keadilan dan kebenaran untuk masyarakat Aceh. Berkali-kali saya tanya apakah betul pernyataan mereka seperti itu? Ada wartawan yang hadir justru menyodorkan statemen resmi dengan logo GAM dengan bahasa Ingris. Setelah saya membaca sejenak, sayapun mulai mengeluarkan pernyataan sementara dan nanti akan ditindaklanjuti dengan pernyataan resmi dari DPP-FPI atau lainnya.
Pertama kami nyatakan bahwa kehadiran kami ke Banda Aceh, adalah perintah syariat, atau perintah agama, perintah Allah dan Rasul-Nya yang menyuruh agar kami menolong saudara-saudara kami yang tertimpa musibah. Di tengah-tengah masyarakat Aceh yang tertimpa bencana, masih ada ratusan ribu mayat yang tidak terurus sebagaimana mestinya, dan kami datang untuk mengangkat mayat-mayat yang sudah mulai membusuk, dan mungkin diantara mereka ada keluarga-keluarga anggota GAM yang juga kewajiban mereka untuk menyelesaikannya. Sementara masyarakat di sekitar Banda Aceh maupun Pemerintah sudah kewalahan menangani masalah ini, jadi merupakan kewajiban masyarakat Islam untuk menyelesaikannya. Dan kenyataannya, masyarakat sangat membutuhkan tenaga kami, terbukti sejak hari pertama kami membuka posko Tim Pemburu Mayat, banyak sekali masyarakat Aceh yang datang meminta pertolongan kami. Dalam waktu sehari, tidak kurang antara 300 sampai 400 mayat yang kami evakuasi dengan jumlah relawan tidak kurang dari 1000 orang yang datang dengan ongkos dan bekal sendiri dari seluruh penjuru tanah air. Maka sebagai seorang aktivis kemanusiaan saya tidak mengerti dengan statemen para petinggi GAM, yang kami anggap sangat tendensius dan provokatif itu.
Apalagi jika para petinggi GAM itu melihat sendiri kelakuan beberapa aparat yang mengangkat mayat kaum Muslim yang harus dihormati seperti mengangkat sampah dan menanamnya seperti kotoron busuk, diangkut dengan truk sampah bahkan ditendang dengan kakinya. Akibat tindakan bejat ini, relawan yang saya pimpin berapa kali bertengkar dan hampir clash dengan aparat yang tidak menghormati jenazah sebagaimana tuntunan syara’. Tapi hati saya bertanya saat itu, dimanakah para petinggi GAM dan kombatannya, atau aktivis SIRA yang mampu menghimpun jutaan masa ketika terjadinya referendem? Apakah mereka semua tidak sakit hati melihat mayat-mayat saudara seiman, sekampung atau mungkin keluarganya diperlakukan seperti bangkai binatang busuk, sampah kotoran dan sejenisnya. Sebagai mujahid, hati saya berteriak........!!!! Bahkan saya perintahkan kepada relawan saya, jika ada yang berbuat demikian, biarpun aparat, bunuh saja mereka, sekalian masukkan ke kantong mayat itu, karena mereka bukan manusia.......!!!!
Apa jadinya kalau tidak ada orang-orang seperti kami, relawan yang datang dengan uang sendiri, meninggalkan anak istri, rumah dan ranjang empuk, pekerjaan, ruang kantor ber-AC, bahkan ada yang menjual hartanya, rumah dan mobilnya untuk berangkat ke Aceh dan di Aceh kami hanya makan mie yang direbus air yang entah rasanya apa, tinggal di tenda-tenda beralaskan gardus, yang jika hujan kami tidak dapat tidur. Belum lagi macam-macam penyakit yang mengintai kami, termasuk dapat terinfeksi bakteri pembusuk yang tidak ada obatnya kecuali diamputasi jika mengenai tubuh kami. Kami harus bersentuhan langsung dengan mayat yang membusuk karena tidak ada peralatan evakuasi, hatta sarung tangan dan sepatu boot sekalipun. Bahkan kami harus berenang di tengah-tengah air busuk di antara kolam-kolam bekas air tsunami untuk mengambil dengan hormat saudara kami yang masih terapung-apung dan menjadi tontotonan orang. Kami rela lakukan ini untuk masyarakat Aceh Serambi Mekah ini karena ulama-ulama rujukan kami telah menetapkan berangkat ke Aceh membantu korban tsunami dan mengangkat mayat hukumnya adalah fardhu ’ain, kewajiban yang dibebankan secara pribadi kepada seluruh kaum Muslim, siapa yang tidak berangkat atau tidak membantu keberangkatan ke Aceh berdosa. Hukum ini sama dengan hukum jihad fi sabilillah, hukum berperang ketika musuh telah masuk ke dalam negeri kaum muslim dan membantai rakyatnya.
Demikian pula, Aceh adalah masih bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, belum merdeka dan berdiri sendiri sebagaimana dicita-citakan para petinggi GAM Swedia. Kedatangan relawan kami resmi mendapat izin pemerintah, bahkan dipasilitasi kedatangannya dengan menaiki pesawat atau kapal laut dan lain-lainnya dengan tugas utama untuk mengevakuasi mayat dan membersihkan masjid. Dan kami memang datang sebagai relawan kemanusiaan. Adapun dalam perjalanannya ada yang mengait-ngaitkan dengan kedatangan tentara Amerika atau Barat lainnya, tetap saya nyatakan bahwa selama untuk tugas kemanusiaan, ”We can work together”, but not for your hidden agenda, missionaris etc”. Tapi masih banyak yang curiga kepada kelompok seperti kami.
Selanjutnya, dalam wawancara eksklusif dengan CNN, saya nyatakan bahwa, apapun tantangan yang datang kepada kami, akan kami hadapi dengan profesional. Tidak ada seorangpun yang berhak mengusir kami, karena kami datang atas perintah Allah dan Rasul-Nya untuk menjalankan perintah agama, pemerintah Indonesia sendiri telah memberikan izin kepada kami, bahkan memberi banyak fasilitas dan bantuan, sementara kenyataan lapangan masyarakat Aceh memang sangat memerlukan kami untuk menyelesaikan prosesi evakuasi jenazah. Bahkan lembaga internasional seperti World Food Programme (WFP) di bawah bendera PBB memberikan bantuan beras dan air mineral untuk kepentingan relawan kami. Demikian pula dari lembaga kemanusiaan lainnya seperti Budha Tsu Tze dan lainnya. Saya tegaskan sejarahlah yang akan membuktikan nanti, apakah kehadiran kami akan mulia atau hina di bumi Serambi Mekah ini. Dengan sedikit provokatif, reporter ini bertanya, apakah pasukan saya akan membuka front perlawanan dengan GAM? Saya tidak menyangka dia akan bertanya seperti itu. Namun saya tegaskan, disamping sebagai relawan, kami adalah hamba Allah dan mujahid, the soldier of God, yang siap menghadapi semua tantangan dan siap mengorbankan harta dan nyawa untuk Islam dan umatnya. Saya tambahkan, bersama dengan relawan saya saat ini, ada mantan veteran perang di Afghanistan, Checnia, Moro, Ambon dan lainnya. Sambil saya memperkenalkan asisten saya, Abu Maryam, yang menjadi murid Usamah bin Laden dari tahun 1987 sampai 1992 di sebuah kam pelatihan militer untuk para mujahidin internasional di perbatasan Afghanistan-Pakistan.
Sejak saat itu, reporter CNBC sangat ingin meliput dari dekat kegiatan kami dalam mengevakuasi mayat. Maka saya anjurkan agar mereka datang sejak pagi, atau subuh agar mereka menyaksikan protap yang relawan kami lakukan. Merekapun setuju dan mulai meliput kegiatan relawan yang saya pimpin, mulai dari shalat shubuh berjama’ah, zikir dan doa, apel di lapangan ala lasykar dan sampai operasi memburu mayat. Saya mengajak mereka ke tengah-tengah reruntuhan kota Banda Aceh yang belum terjamah, mengangkat mayat yang sudah mulai membusuk di tengah-tengah reruntuhan bangunan dan puing-puing. Tanpa menggunakan perlengkapan dan fasilitas apa adanya. Terkadang para relawan harus bersentuhan langsung dengan mayat yang membusuk, karena sudah tidak ada lagi sarung tangan yang dipakai. Bule-bule itupun menggelengkan kepala melihat keberanian relawan Tim Pemburu Mayat yang saya pimpin. Dengan setengah bercanda dia bertanya ”apakah mereka ini juga veteran perang Afghanistan?”. Dengan tersenyum, saya jawab, ”it’s secret of our bussines, we can’t tell you..!.
Toh akhirnya sejarah mencatat, bahwa relawan kami memang dapat menjalankan kewajibannya dengan baik, dapat diterima masyarakat Aceh, bahkan mendapat simpati yang luar biasa. Sampai sekarang, teman-teman birokrat yang dahulu sama-sama di pendopo gubernuran Aceh, tetap memanggil saya dengan “ustadz Panglima Pemburu Mayat”. Walaupun memang agak ngeri kedengarannya, tapi itulah realitas sejarah yang tidak mungkin dapat dipungkiri. Selamat kepada semua relawanku yang telah membuktikan pengabdiannya di Serambi Mekah, semoga amal kita diterima Allah dan menjadi uswah hasanah anak cucu.

@@@@@@@@@

Ketika memimpin tim relawan untuk mengevakuasi mayat-mayat yang berada direruntuhan bangunan, saya benar-benar merasakan kekerdilan diri sebagai seorang manusia dihadapan alam, apalagi dihadapan Yang Maha Penciptanya. Saya, manusia siapa saja, apakah pejabat, jendral, pengusaha dan lainnya tidak ada artinya, bahkan tidak punya kekuatan apalagi kekuasaan untuk mencegah terjadinya bencana maha dahsyat ini. Memangnya siapa manusia yang merasa dirinya sombong dan sok jagoan yang berani menentang dan menantang Sang Maha Kuasa dengan Kemaha Digdayaan-Nya. "Ya Allah Yang Maha Kuasa, kami memang benar-benar kerdil, kecil, tidak ada artinya sama sekali dihadapan-Mu Yang Maha Agung. Jika Engkau menghendaki, tiada siapapun yang dapat mencegah-Nya, Engkau Maha Perkasa lagi Maha Kuat. Ketika Engkau berikan peringatan kepada hamba-Mu di Serambi Mekah ini, maka tidak ada seorangpun yang mampu mencegahnya, walaupun dia seorang Presiden sekalipun. Maha Suci Engkau Ya Allah, Tuhanku dan Tuhannya seru sekalian alam, ampunilah kami, saudara-saudara kami yang telah Engkau ambil ke sisi-Mu. Ya Allah, hanya inilah yang mampu ucapkan dihadapan Keagungan-Mu".
Setiap saya berada di reruntuhan bangunan untuk mencari saudara-saudara saya yang wafat tertimbun, pasti air mata saya tidak pernah berhenti menenes, terkadang saya tidak kuasa menahan pilu dan kesedihan yang mendalam melihat keadaan saudara-saudara saya yang wafat secara tidak wajar dan tidak terurus. Terkadang saya membayangkan, bagaimana seandainya kalau saya yang tertimpa musibah ini, saya tidak dikenal lagi oleh keluarga, tidak tau dimana kuburan saya, tidak ada yang menziarahi, dan bahkan tiada yang mengurus jenazah saya sebagaimana yang telah diperintahkan ajaran Islam. Ya Allah, hatiku senantiasa bergetar, takut kepada Allah jika ditimpakan musibah yang tak tertanggungkan ini. Di saat-saat istirahat mengevakuasi mayat, saya selalu menasihatkan kepada diri dan rekan-rekan saya agar selalu mengambil pelajaran pada apa yang mereka lihat. Peringatan yang paling manjur adalah selalu mengingat mati dan kematian. Mudah-mudahan banyaknya kematian yang kami saksikan akan selalu menjadi pengingat kepada kami, siapakah kami, kemanakah kami akan pergi, dan yang paling penting, kami pasti akan mati menyusul saudara-saudara kami, dan kami masih memiliki kesempatan untuk memilih cara mati yang mulia dan tinggi, syahid di jalan Allah kelak. Insya Allah.
Kadang kala saya memandang sejauh pandangan mata, menyaksikan sebuah keadaan mengerikan yang dipenuhi dengan reruntuhan kota Banda Aceh, dan kadangkala saya tidak percaya bahwa diri saya saat ini tengah berada di reruntuhan sebuah kota yang masyarakatnya terkenal dengan tradisi keislamannya. Ribuan mayat yang kami evakuasi dengan berbagai posisi dan keadaan yang belum pernah saya saksikan seumur hidup. Coba bayangkan, di sungai Pasar Ikan Peunayong, puluhan ribu mayat terapung-apung, ratusan kilo meter bersama tumpukan sampah. Terkadang kami menemukan mayat yang keadaan sangat memprihatinkan, namun terkadang kami menemukan mayat yang masih utuh setelah berminggu-minggu terlantar. Terkadang kami menemukan mayat yang telanjang bulat, tidak menyisakan selembar benangpun, kebanyakannya wanita, namun kami juga menemukan mayat yang masih utuh memakai jibab dan purdahnya, mayatnya utuh. Saya sendiri terlalu susah untuk membayangkannya, apalagi menceritakannya dengan tepat.
Di tengah-tengah kebingungan saya, terkadang bertanya dalam hati, kenapa bangunan masjid banyak yang selamat, sementara bangunan beton yang jauh lebih kuat luluh lantak? Apakah ini sebuah kebetulan sebagaimana teman-teman relawan bule saya berkeyakinan, atau memang ada kekuatan yang menghendaki agar masjid selamat? Sebagai seorang yang beriman, saya yakin seyakin yakinnya bahwa apapun yang terjadi di muka bumi ini pasti atas kehendak Allah, termasuk apa yang menimpa Aceh. Bahkan Allah Yang Maha Kuasa telah mengirimkan pesan lewat masjid-masjid, yang disebut sebagai rumah Allah, yang telah diselamatkan-Nya sebagai pelajaran untuk orang-orang yang berakal. Karena seandainya masjid-masjid itu tidak diselamatkan Allah SWT, tentu ada alasan bagi orang-orang sekuler untuk mengatakan bahwa bencana ini hanyalah kejadian alam, tidak ada hubungannya dengan Tuhan Pencipta. Namun dengan selamatnya masjid, seperti masjid Baturrahim di bibir pantai Ulee Lhee, maka tidak ada yang bisa menafikan akan adanya Kekuasaan Allah yang menyelamatkan rumah-Nya, sementara bangunan-bangunan kokoh lainnya hancur berantakan.
Terlalu banyak hikmah yang saya dapatkan selama memimpin tim relawan yang total jumlahnya lebih seribu. Dengan mengucapkan syukur yang tiada terhingga kepada Allah SWT, ucapan terima kasih kepada rekan-rekan relawan FPI, Hilal Merah, pemerintah pusat dan daerah, TNI dan masyarakat serta siapapun yang telah membantu perjuangan kami. Semoga Allah senantiasa membalasnya dengan yang setimpal dan kita mendapat hikmah yang besar dari kejadian yang telah menimpa saudara-saudara kita di Aceh. Bahwa bencana yang telah menimpa Aceh dan sekitarnya bukan hanya sebuah bencana alam biasa, namun bencana dahsyat ini adalah sebuah pesan, sebuah peringatan dari Sang Penguasa Alam kepada umat manusia, terutama bangsa Indonesia. Jika Serambi Mekah saja diberikan bencana dahsyat, maka tidak mustahil akan datang lagi bencana yang lebih dahsyat dan lebih besar jika bangsa ini tidak mau mengambil pelajaran dan menerima pesan dan peringatan yang disampaikan.

@@@@@@@@@@@@@

Beberapa hari setelah ketibaan saya di Banda Aceh, ketika sedang sibuk membangun tenda pleton untuk posko kemanusiaan kami di halaman Masjid Baiturrahman, datang seorang yang belum saya kenal. Dari penampilannya, saya memastikan dia seorang ulama atau ustadz, karena memakai jubah lengkap dengan sorbannya serta berjenggot lebat. Setelah memberikan salam, beliau menanyakan kepada relawan kami, siapa pimpinan rombongan. Salah seorang relawan menunjuk ke arah saya yang sedang sibuk membenahi kelengkapan logistik para relawan. Ustadz Habibullah, sebut saja begitu namanya, kemudian menghampiri saya, sambil mengucapkan salam, kami berpelukan erat, erat sekali seperti teman yang sudah lama saling kenal. Kami tidak bisa mengucapkan apa-apa, karena sama-sama terharu, dan saya dapat merasakan kepedihan dan kesedihan ustadz. Saya mempersilahkan beliau masuk ke tenda kami untuk menghormati dan memenuhi keperluan atau hajatnya.
Beliau menceritakan pengalamannya ketika terjadi bencana panjang lebar, keadaan masyarakatnya pada saat itu, terutama di sekitar tempat tinggalnya. "Ana tinggal tidak jauh dari sini" katanya dengan logat Acehnya yang kental. Ketika kejadian, beliau sedang dalam perjalanan menuju tokonya di belakang komplek masjid Baiturrahman. "Saya dengar tim yang ustadz pimpin akan mengevakuasi mayat" tanyanya, yang saya jawab dengan anggukan seraya minta pertolongan beliau untuk dapat membantu, dan beliau menyanggupinya dan juga akan meminta beberapa anggota jama'ahnya untuk ikut membantu relawan kami.
Sambil menunggu sarapan kami berbincang-bincang tentang masalah kejadian yang menimpa Aceh. Sejenak beliau berhenti bicara, sambil mengambil napas panjang dan dalam, dengan mata sinar mata yang menunjukkan kegetiran, beliau berkata dengan nada rendah memecah keheningan kami. "Menurut ana...." katanya, "memang sudah sepantasnyalah Allah SWT menurunkan azab ini kepada masyarakat Aceh....". Saya terkejut bukan kepalang. Kata-kata ustadz yang sudah 25 tahun menjadi da'i dan muballigh ini benar-benar membelalakkan mata saya, saya tidak pernah menyangka beliau akan berkata seperti itu. Dengan ragu-ragu saya menanyakan kembali, apakah benar kata-kata yang baru saya dengar atau memang saya salah dengar atau memang hanya presepsi saya yang salah. Namun ternyata tidak, dengan penuh keyakinan beliau mengulang kata-katanya "masyarakat Serambi Mekah ini memang sudah selayaknya mendapat Tsunami ini ustadz" sambil dengan jelas dan fasihnya beliau membacakan ayat-ayat al-Qur'an yang dijadikannya sebagai dasar dalam mengambil kesimpulan. Sayapun tidak dapat berkata apa-apa, sambil merunduk saya mendengar ayat al-Qur'an yang dibacanya.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Allah) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami pada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (al-A'raf : 96-98)
...Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul. Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada para pemuka di negeri itu supaya mentaati Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Dan berapa banyak kaum setelah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya (al-Isro: 15-17)
Maka masing-masing Kami siksa disebabkan oleh dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu dan ada di antara mereka yang ditimpa suara keras yang menggelegar, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak menzalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. (al-Ankabut : 40)
"Coba ustadz renungkan..." lanjutnya, "kami masyarakat Aceh terkenal dengan keistiqamahan kami menegakkan ajaran Islam, sampai-sampai bangsa Indonesia menyebutnya sebagai Serambi Mekah". Katanya sambil memandang tajam ke arah saya. "Masa masyarakat Serambi Mekah tidak ada bedanya dengan masyarakat serambi Amerika seperti Jakarta? Bahkan kadang-kadang pemimpin dan ulama kami disini sudah banyak yang menyimpang dan mungkin munafik, mereka hanya berlomba untuk mencari jabatan dan kepentingan dunia, tidak menjalankan kewajibannya memimpin dan menasihati, tidak memikirkan rakyatnya yang menderita". Saya hanya mendengarkan kata-katanya dengan penuh perhatian. "Ustadz bisa lihat kelakuan anak muda Aceh sekarang, terutama di pinggir pantai sana. Mereka telah melanggar syari'at, berbuat maksiat, tidak lagi mendengar nasihat orang tua-tua, pergaulan mereka bebas, jilbab hanya dipakai untuk menghindari razia petugas bukan dari dalam hatinya". Sambil menikmati sarapan pagi mie instan dan teh panas bersama beberapa relawan, ustadz menambahkan keherananya, "masa pemimpin Serambi Mekah seperti Gubernur Puteh terlibat korupsi, ini apa namanya?" dengan suara meninggi. "Nah, kalau pemimpin-pemimpinnya saja telah melakukan tindakan biadab dan melanggar perintah Allah, maka pasti Allah akan memberikan azab kepada masyarakat, apalagi masyarakat tidak mencegah kemungkaran yang dilakukan pemimpinnya, lebih menyedihkan lagi jika ulama sudah ketakutan menyampaikan kebenaran" lanjutnya dengan menyitir beberapa hadits dengan fasih.
Pagi itu kami mengahiri pertemuan dengan kesepakatan untuk membantu ustadz mengevakuasi mayat beberapa sanak keluarganya yang masih belum terurus di sekitar toko-toko di samping komplek masjid Baiturrahman, berdekatan dengan pasar Banda Aceh. Ketika akan berpisah, sambil berpelukan, ustadz berpesan kepada saya, "tolong sampaikan kepada pemimpin-pemimpin negeri ini, terutama Presiden, agar mereka dapat mengambil pelajaran dari peristiwa dahsyat ini", sambil membaca ayat al-Qur'an, beliau berkata "Allah tidak akan menjadikan apapun sia-sia di muka bumi ini, pasti ada pelajarannya, pasti ada pesan yang tersirat dan tersurat yang harus difahami", saya hanya mampu menganggukkan kepala.
Ada penyesalan mendalam yang ditunjukkan ustadz yang alim ini, terutama kepada pemerintah pusat yang dianggapnya lambat dalam menyelesaikan bencana dahsyat ini. Beliau beranggapan pemerintah belum memiliki sistem terpadu dalam menyelesaikan bencana yang maha dahsyat ini, mungkin ini dapat difahami karena memang bangsa Indonesia baru kali ini sejak kemerdekaan mendapat bencana besar seperti ini. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap para pemimpin di Jakarta yang tidak mau mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa masyarakat Aceh. "Apakah azab ini hanya untuk kami masyarakat Aceh saja ?" tanyanya dengan suara dalam, dan dijawabnya sendiri "tentu tidak, ini adalah azab untuk seluruh bangsa Indonesia" tegasnya. "Jika kami yang dianggap alim dan istiqomah saja dapat di azab dengan dahsyat, maka jangan mengira bahwa azab yang lebih dahsyat tidak akan menimpa kota-kota lain di Indonesia". Ibaratnya seperti jika sang bapak sudah marah sama anak kesayangannya, maka anak-anak yang lain jangan merasa aman dari murkanya. "Demikian pula dengan bangsa Indonesia, jika Serambi Mekah saja dihancurkan, maka tidak mustahil kota-kota yang lebih kotor dan masyarakatnya lebih rusak akan dihancurkan" tegasnya. Di ahir pembicaraan beliau menyimpulkan agar bangsa Indonesia dapat mengintrospeksi kesalahannya dan segera bertobat nasuha dan melakukan amalan sholeh.
Sejak pertemuan dengan ustadz yang saya anggap jujur dan ikhlas itu, saya terus memikirkan apa yang dikatakannya, terutama tentang keniscayaan azab Allah yang diturunkan kepada masyarakat Serambi Mekah. Kata-katanya selalu terngiang-ngiang, terutama ayat-ayat yang dibacanya dengan penuh keyakinan. Di tengah-tengah kehancuran kota Banda Aceh yang tak terbayangkan, terutama ketika mengevakuasi mayat, saya selalu teringat dengan kata-kata ustadz yang kharismatis itu, kemudian merenung, apakah memang benar azab yang maha dahsyat ini sepantasnya ditimpakan kepada Aceh, ataukah memang ini sebuah bencana alam yang tidak pandang bulu, yang akan menimpa siapa saja di antara umat manusia, tidak pandang agama dan kepercayaannya. Terkadang masalah ini saya diskusikan dengan beberapa intelektual muda Aceh ataupun para aktivis Islam dan birokrat, pengusaha ataupun masyarakat umum. Memang seperti ada sebuah kesepakatan tentang ketidakfahaman mereka, terutama kenapa Aceh dilanda bencana, tapi mereka memang mengakui bahwa telah terjadi perubahan fundamental dalam tradisi dan kebiasaan masyarakat Aceh. Generasi muda sudah meninggalkan tradisi agung nenek moyang mereka, sementara para cerdik pandai memilih keluar Aceh, dan yang berani melakukan pemberontakan atas nama penindasan. Namun kami sepakat, ada pesan dan pelajaran yang mesti di ambil dari bencana kemanusian terdahsyat pada abad ini.
Terlalu banyak hikmah dan pelajaran yang saya dapatkan dari kehancuran kota Banda Aceh akibat bencana gempa dan tsunami. Hari demi hari, selama 40 hari di Aceh menjadi relawan kemanusiaan, saya mendapat banyak hal, terutama yang berkaitan dengan peningkatan spiritual. Saya dapat bergaul dan memahami kerja relawan kemanusian dari berbagai negara yang membantu saudara-saudara kita dengan keikhlasan, namun tidak kurang juga ada yang ingin mengambil kesempatan dengan bencana ini. Itulah sebabnya tidak henti-hentinya kami dari gerakan Islam menyerukan agar para relawan tetap bekerja dalam koridor kemanusiaan saja dan tidak mengedepankan misi terselubung yang akan menambah permasalahan yang dihadapi masyarakat Aceh yang sudah penuh dengan penderitaan. Intinya keikhlasan, kesungguhan dan keberanian yang ditunjukkan tim relawan kami telah menjadikan mereka sangat dekat dengan masyarakat Aceh. Sampai saat ini kami tetap membina hubungan dengan masyarakat Aceh melalui program pembangunan masyarakat ataupun infrastruktur.

@@@@@@@@@@@@@

Setelah lebih 40 hari di Banda Aceh, saya kembali ke Jakarta. Sejak tiba di Bandara Soekarno Hatta, saya melihat keadaan yang sangat kontras dengan apa yang saya lihat di Aceh. Jakarta, kota metropolis tidak pernah berubah dengan kesibukan dan keangkuhan serta kegemerlapannya. Terus terang, hati saya masih trauma dengan keadaan yang menimpa saudara-saudara yang ada di Aceh, sehingga terkadang terbawa-bawa dalam prilaku keseharian. Kesedihan dan kepiluan masih terasa di relung hati ini, sementara masyarakat ibukota tetap dengan kegiatan yang mereka lakukan. Kepulangan saya ke Jakarta dimaksudkan untuk mencari kemungkinan program bantuan kemanusian untuk masyarakat Aceh, namun memang tidak mudah meyakinkan manusia-manusia modern tentang kebaikan dan pertolongan. Bersama-sama dengan beberapa orang senior dan teman, diantaranya Dr. Shechan Shahab, Dr. M. Firdaus, Farid Poniman, Muzakir Rida, Erman Kardila dan lainnya, kami sepakat untuk membesarkan Hilal Merah yang memang sejak dari awal dideklarasikan di Medan pada tahun 2003 ditujukan untuk membantu saudara-saudara di Aceh.
Namun demikian, ada misi utama yang perlu saya sampaikan kepada bangsa Indonesia, sebagaima yang diharapkan oleh masyarakat Aceh, bahwa musibah yang mereka alami, bukan saja sekedar peringatan untuk mereka saja, tapi untuk bangsa Indonesia seluruhnya. Pesan dan pelajaran berharga yang harus disampaikan kepada bangsa Indonesia yang tengah menghadapi krisis multi dimensi, yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pesan-pesan yang jelas dan terang benderang dari Sang Pencipta alam yang ditujukan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia. Pesan yang disampaikan dengan harga yang sangat mahal, namun sayangnya tidak disadari dan tidak difahami oleh para pemimpin bangsa ini sehingga mereka masih asyik mengejar jabatan dan saling rebutan kedudukan yang menambah sengsaranya umat ini. Saya ingat janji saya kepada ustadz yang menemui saya di halaman masjid raya Baiturrahman, saya akan menulis hikmah dan pesan tsunami kepada bangsa Indonesia, khususnya para pemimpin mereka.
Karena kesibukan-kesibukan yang tidak dapat dihindarkan, maka amanah untuk menulis pesan Allah SWT dari peristiwa tsunami Aceh tersebut belum sempat saya penuhi, sehingga selalu mengganggu fikiran. Sampai ahirnya saya menemukan dua buah buku yang memang sesuai dengan keinginan masyarakat Aceh. Satu ditulis oleh ulama aktivis yang saya kenal keistiqomahannya, Dr. Abdurrahman Al-Baghdady berjudul Tsunami Tanda Kekuasaan Allah dan satu lagi ditulis oleh putra Aceh Apridar berjudul Tsunami Aceh, Azab atau Bencana?. Alhamdulillah, saya menjadi lega, ternyata kedua penulis telah menjelaskan dengan sangat bagus tentang bencana tsunami yang dikaitkan dengan peringatan Allah SWT. Kedua penulis berkeyakinan bahwa bencana tsunami yang terjadi di Aceh adalah semata-mata atas kehendak Allah Yang Maha Pengatur, bukan sekedar kejadian alam biasa sebagaimana difahami orang sekuler. Demikian pula mereka dapat meyakinkan dengan dalil-dalil yang pasti bahwa tsunami merupakan peringatan dari Allah yang mesti diperhatikan. Namun sayang untuk yag kedua ini, tidak mendapat tanggapan yang sepatutnya dari bangsa Indonesia, khususnya para pemimpin mereka.
Menurut Dr. Abdurrahman Al-Baghdady, bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh dapat dilihat dari dua sudut. Dari sudut pandangan orang-orang beriman, maka bencana itu merupakan ujian atas keimanan, sementara bagi orang-orang yang kafir, jelas merupakan azab atas kedurhakaan mereka. Sehubungan dengan itu, beliau menulis:
Salah besar jika ada orang yang berpendapat bahwa korban gempa dan tsunami yang baru saja terjadi adalah menimpa mereka orang-orang yang berdosa yang layak untuk dibinasakan. Ini adalah satu kesimpulan serampangan. Dan kesimpulan dengan serampangan adalah satu kebodohan.
Setiap orang mati sesuai dengan niat dan amalannya masing-masing yang hal ini disebutkan sebagaimana dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syu'abul Imaan dari Aisyah ra, "Bahwasanya Allah jika menurunkan murka-Nya kepada kaum yang mengingkari-Nya, maka Dia mematikan terlebih dahulu orang-orang yang sholih dari mereka. Mereka lalu dibinasakan sebab sudah matinya orang-orang shalih tersebut, kemudian mereka dibangkitkan kembali sesuai dengan niat dan perbuatan mereka."
Dan inilah yang menimpa penduduk pesisir Asia Tenggara, yang mana ini adalah ujian karena sebagian mereka adalah orang-orang mukminin. Allah berfirman :
Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengansedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Innaa lillahi wa inna ilahi raaji'un". Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (al-Baqarah : 155-157).
Gempa merupakan siksaan bagi mereka yang berdosa sebagaimana dalam firman Allah:
Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (Huud : 102)
Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji." (al-Ra'du : 31)
Gempa ini juga mengingatkan orang-orang yang tidak memperdulikan keadaan (kebaikan/keburukan) masyarakat sekitarnya, tidak peduli dengan dakwah Islamiyah, karena mengira kebaikan dirinya dapat dijadikan alasan dihadapan Allah untuk mengajak baik kepada orang lain, dan mereka mengira bahwa kebaikannya itu dapat menyelamatkannya dari siksa dunia dan ahirat. Gempa tersebut mengingatkan manusia akan firman Allah :
Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (Huud : 117).
Gempa ini menunjukkan kepada mereka bahwa kerusakan yang mereka sebabkan dapat menenggelamkan perahu masyrkat, mengancam keamanan mereka, padahal jika siksa diturunkan, maka yang akan menerimanya adalah mereka semuanya bersama-sama dan tidak ada yang diperkecualikan. Allah berfirman :
Dan peliharalah dirimu daripada siksa yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya". (al-Anfaal : 25). ( demikianlah komentar Dr. al-Baghdady, hal : 193-199)
Pendapat ini diperkuat dan dipertegas oleh Apridar putra Aceh yang mengetahui keadaan masyarakatnya karena hidup dalam lingkungannya sebagai aktivis. Dia menulis :
Dalam kamus Islam, setiap kaum tidak mungkin akan menerima "hukuman Tuhan" apabila sebagian atau keseluruhan kaum tersebut tidak "melampaui batas". Tetapi, apabila sebagian atau keseluruhan kaum tersebut bersikap melampaui batas, eksesnya yang niscaya adalah sebuah "hukuman Tuhan" yang bisa berbentuk bermacam-macam, gempa bumi, gelombang tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, meteor jatuh, kekeringan, kelangkaan pangan, dan lain sebagainya. Kasus gempa dan tsunami Aceh, dalam persfektif ini, juga menyiratkan bukti-bukti tersebut. Yayasan Daulat Remaja NAD, dalam laporannya mensinyalir bahwa menjamurnya pekerja seks komersial (PSK) di NAD merupakan benang merah dengan merajalelanya korupsi dalam pemerintahan daerah NAD. Yayasan tersebut menyebut banyak pejabat daerah NAD menjadi pelanggan para PSK yang tersebar di berbagai wilayah berjulukan Serambi Mekah tersebut, padahal di NAD sudah berlaku syariat Islam. Hal inilah yang mengakibatkan semakin merajalelanya kemaksiatan di bumi rencong itu. Laporan Serambi Indonesia yang menyebutkan Kuala Simpang telah menjadi lahan subur kemaksiatan juga menguatkan bahwa Aceh pra-tsunami telah kotor dengan berbagai penyimpangan yang sebelumnya tidak pernah ada. ( hal 150).
Kedua penulis yang berbeda latar belakang dan tempat tinggal ini memandang bahwa peristiwa bencana yang telah menimpa Aceh dan sekitarnya, yang telah menimbulkan korban besar dan kerugian tak terkira ini mengandung banyak pelajaran khususnya kepada bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang tengah dilanda krisis multi dimensi saat ini diharapkan mempu mengambil pelajaran dari semua peristiwa yang menimpanya, baik peristiwa-peristiwa sebelumnya yang telah mengantarkan bangsa dan negara seperti keadaannya saat ini, ataupun peristiwa bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh dan sekitarnya. Sebagaimana kebanyakan masyarakat lainnya, ternyata kedua penulis ini juga merasa kecewa dengan tindakan pemerintah yang dianggap tidak sistematik dan lambat dalam mengambil langkah-langkah strategis penyelesaian bencana. Bahkan tidak ada pernyataan resmi dari pemerintah yang menyatakan perlunya bangsa Indonesia mengintrospeksi keadaan mereka kenapa sampai ditimpa ujian dan bencana yang bertubi-tubi, yang terus sambung menyambung tiada kunjung berahir, sepertinya mereka sama sekali tidak menangkap pesan-pesan dari peristiwa ini.

@@@@@@@@@@@@

Setelah kembali ke Jakarta, saya mengajak beberapa orang teman dekat, khususnya dari kalangan cendekiawan dan profesional muda untuk mendiskusikan beberapa permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia. Kelompok diskusi ini kami namakan dengan kelompok "diskusi reboan", yang diadakan setiap hari rabu habis maghrib dan dilaksanakan dua kali seminggu bertempat di LP3I Kramat. Diskusi yang dipandu Syahrial Yusuf, pemilik LP3I Group, biasanya dihadiri oleh beberapa teman-teman aktivis mahasiswa, mantan aktivis HMI seperti Muzakir Rida (mantan Sekjen HMI), cendekiawan muda Dr. M. Firdaus (lulusan Universiti Malaya), Farid Poniman (trainer KUBIK), Heri Rahmadi (bos Bambu Dua Group) dan beberapa teman-teman lainnya. Setelah beberapa kali berdiskusi, yang lebih merupakan sebuah curhat kalangan cendekia dan profesional muda, kami menyimpulkan ada sesuatu yang salah dan tidak benar pada bangsa ini, sehingga ditimpa krisis demi krisis yang telah menimbulkan krisis multi dimensi. Dan ternyata bukan hanya krisis multi dimensi saja yang menimpa bangsa ini, tapi bencana demi bencana yang dahsyat datang silih berganti, dari gempa di Nabire, Alor sampai tsunami di Banda Aceh dan terahir gempa di Kepulauan Nias. Dengan segala keterbatasan yang kami miliki, sebagai kelompok menengah bangsa Indonesia merasa bertanggung jawab untuk memberikan sesuatu kepada bangsa dan tanah air. Kami membagi tugas masing-masing, dan biasanya saya diserahkan untuk menganalisis permasalahan bangsa dari sudut pandang Islam, bidang yang sangat saya minati.
Dorongan teman-teman dan juga beberapa peristiwa yang saya alami di Banda Aceh terdahulu telah menimbulkan sesuatu yang agak aneh pada diri saya. Tiba-tiba saya merasa asing dengan diri sendiri, tujuan hidup, jalan yang harus ditempuh, sampai masalah-masalah krisis hubungan dengan keluarga. Apakah kesedihan yang mendalam terhadap apa yang tengah ditimpa bangsa Indonesia, menjadikan saya seperti saat ini, menjadi manusia yang asing dengan kehidupannya sendiri. Terkadang saya tidak tahu mesti berbuat apa, kecuali hanya membaca buku, berjalan-jalan keliling Jakarta, Bogor, Depok dan sekitarnya atau berkumpul dengan teman-teman lama membicarakan masa lalu sambil merencanakan sesuatu yang baru. Tapi semua itu membuat saya semakin gelisah dan resah, yang menambah buruknya hubungan saya dengan orang-orang terdekat saya, baik di organisasi maupun pribadi. Dan saya merasa ada krisis yang tengah menimpa diri saya setelah pulang dari Aceh, apa yang Danah Zohar, dalam buku SQ : Spiritual Intelligence - The Ultimate Intelligence, menamakannya dengan krisis spiritual, krisis manusia yang kehilangan makna dalam hidupnya.
Biasanya dalam menghadapi masa-masa sulit, saya akan kembali kepada kebiasaan lama yang sudah saya praktekkan sejak berumur belasan tahun dulu, ketika menjadi aktivis di Yogja, menjalani sebuah pendekatan spiritual yang biasa dikenal dengan pembersihan jiwa atau orang biasanya menyebut dengan nyufi. Tradisi ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh para Nabi dan para pengikutnya, termasuk yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para shohabatnya, yang dalam bahasa tasaufnya dikenal dengan tahannus atau uzlah. Pada tradisi klasik, uzlah biasanya dilakukan dengan meninggalkan semua kehidupan dunia dan mengasingkan diri dari masyarakat, namun pemikir Islam kontemporer dari Mesir, Sayyid Qutb, memberikan sebuah model baru dalam beruzlah, yaitu uzlah su'uriyyah, artinya uzlah yang tidak meninggalkan kegiatan dan interaksi dengan masyarakat namun tetap melakoni uzlah melalui uzlah pemikiran. Dan uzlah ala Qutb inilah yang saya lakoni, dengan mengambil tempat yang berdekatan dengan Masjid dan Islamic Centre milik Habib Abdurrahman Al-Habsyi yang dikenal dengan Habib Kwitang. Saya bisa berkonsentrasi beribadah di masjid dan berdekatan dengan kantor saya di komplek Senen Jakarta Pusat.
Dalam proses uzlah ini, banyak hal yang saya dapatkan, terutama untuk pencerahan diri dan sekaligus pensucian jiwa serta penjernihan fikiran. Saya mencoba masuk ke dalam diri, memahami hakikat, jati diri, potensi, pengalaman hidup, keinginan, cita-cita, realitas kehidupan masa kini dan yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Uzlah ini juga diperkuat dengan ibadah-ibadah sunnah serta memahami bacaan-bacaan dari beberapa kitab klasik karangan Ibn Thaimiyah, Ibn Qoyyim, Al-Ghazali, Ibn Qudamah, Ibn Atha'illah, Abdul Qadir Jaelani, al-Qurthubi sampai karangan Said Hawa, Yusuf Qordhowi, Mohammad Al-Ghazali, A'id al-Qorni, Danah Zohar, Daniel Golemen, Ary Ginanjar dan lainnya. Disamping untuk diri sendiri, saya juga merenungkan apa yang tengah dihadapi bangsa Indonesia. Banyak kejadian spiritual yang mungkin tidak dapat diceritakan, namun intinya saya dapat memahami sekelumit dari makna hidup dan kehidupan yang mesti dilalui oleh manusia, baik sebagai dalam urusan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Saya berencana, semoga Allah SWT memperkenankannya, untuk menulis pengalaman-pengalaman spiritual yang saya alami sejak beberapa tahun lalu agar dapat bermanfaat untuk agama, bangsa dan negara, insya Allah.
Setelah mengahiri masa uzlah fase pertama selama 40 hari, saya mulai mendapat gambaran dan keyakinan tentang apa yang dihadapi bangsa Indonesia. Bahwa krisis multi dimensi ataupun bencana-bencana dahsyat yang menimpanya, bukanlah sebuah kebetulan, tapi sebuah keniscayaan yang mesti diterima bangsa Indonesia akibat perbuatan mereka, baik secara bersama-sama, sekelompok orang, kalangan elit atau pemimpinnya yang tidak dicegah oleh sekelompok orang lainnya. Bahwa bangsa Indonesia ditimpa musibah, baik berupa krisis multi dimensi yang tidak bisa diselesaikan oleh para cerdik pandai dan pemerintah, perilaku korup sebagian pejabat, kerusakan moral generasi muda sampai pada bencana demi bencana dahsyat yang datang silih berganti, tidak lain karena bangsa ini secara fundamental telah mendapat laknat dari Allah, malaikat, manusia dan seluruh alam raya.
Dalilnya adalah ayat-ayat dibawah ini (surat Ali Imron : 81-91), yang ketika saya baca dan renungkan, seperti baru saja saya fahami maknanya, dan saya kutipkan dari terjemahan al-Qur'an oleh Departemen Agama RI.
Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, "Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu lalu datang kepada kamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman, "Apakah kamu setuju dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?". Mereka menjawab, "Kami setuju." Allah berfirman, "Kalau begitu bersaksilah kamu (para nabi) dan Aku menjadi saksi bersama kamu".
Maka barangsiapa berpaling setelah itu, maka mereka itulah orang yang fasik.
Maka mengapa mereka mencari agama (dien) yang lain selain (dien) Allah, padahal apa yang di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan.
Katakanlah (Muhammad), "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (Muslimin)."
Dan barangsiapa mencari agama (dien) selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di ahirat dia termasuk orang-orang yang rugi.
Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, serta mengakui bahwa Rasul (Muhammad) itu benar-benar (Rasul), dan bukti-bukti yang jelas telah sampai kepada mereka? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang zalim.
Mereka itu, balasannya ialah ditimpa laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya,
Mereka kekal di dalamnya, tidak akan diringankan azabnya, dan mereka tidak diberi penangguhan,
Kecuali orang-orang yang bertobat setelah itu, dan melakukan perbaikan, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Sungguh, orang-orang yang kafir setelah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, tidak akan diterima tobatnya dan mereka itulah orang-orang yang sesat.
Sungguh, orang-orang yang kafir dan mati dalam kekafiran, tidak akan diterima (tebusannya) dari seseorang di antara mereka sekalipun (berupa) emas sepenuh bumi, sekiranya dia hendak menebus diri dengannya. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang pedih dan tidak memperoleh penolong.
Apakah ayat-ayat al-Qur'an, firman Allah SWT Yang Maha Mutlak Kebenarannya ini masih perlu ditafsirkan lagi, atau memang sudah jelas dan terang maknanya? Saya sendiri perlu merenungi dan membacanya berulang-ulang secara teliti dan mendalam, serta berusaha mencari pemahaman dari beberapa ahli tafsir Islam, baik yang klasik dan modern. Dan saya berkesimpulan inilah pesan Allah yang terang benderang kepada bangsa Indonesia saat ini dan sekaligus diberikan jalan keluar dari krisis multi dimensi yang menerpanya saat ini.
Ayat ke 81 membicarakan tentang perjanjian antara Allah Sang Pencipta dengan manusia, para utusannya yaitu para Nabi dan Rasul, bahwa semua mereka harus bersungguh-sungguh beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan menolongnya dalam menegakkan ajarannya. (lihat catatan kaki oleh Departemen Agama). Perjanjian para nabi ini mengikat juga terhadap para pengikutnya dan umat-umatnya.
Pada ayat 82, dijelaskan, siapapun mereka, apakah itu para nabi, umatnya, pejabat, ulama, pengusaha, negarawan, pengusaha dan lain-lainnya yang berpaling atau mengingkari janji yang telah mereka sepakati, maka mereka adalah orang yang fasik, orang yang telah berkhianat kepada Allah SWT.
Dari kedua ayat ini jelaslah, bahwa sebuah bangsa yang telah mengadakan perjanjian, apalagi perjanjian itu menyangkut masalah agama, masalah risalah Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad, mereka wajib menepati perjanjian dan tidak boleh berkhianat. Demikianlah pula bangsa Indonesia, pada tanggal 22 Juni 1945 telah mengadakan perjanjian dengan Allah dan kaum muslimin, bahwa mereka akan menjadikan Islam sebagai dasar berbangsa dan bernegara di Indonesia yang mayoritas muslim, dengan menjadikan syari'at Islam sebagai dasar negara, sebagamana tercantum dalam sila pertama Pancasila : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya. Dengan dasar negara inilah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi ironisnya pada besok harinya, tanggal 18, setelah memperoleh kemerdekaan, bangsa Indonesia telah berkhianat kepada Allah dengan mencampakkan syari'atnya. Maka berdasarkan ayat ke 82, jelaslah bahwa bangsa Indonesia telah berkhianat kepada Allah dan termasuk bangsa yang fasik. (Lihat bab sebelumnya : Meluruskan Pancasila)
Pada ayat yang ke 83, Allah bertanya kepada manusia, kepada bangsa Indonesia, mengapa mencari dien selain dari dien Allah. Tentang pengertian dien lihat sebelumnya oleh Abul A'la Maudidi yang mengartikannya sebagai falsafah, way of live, idiologi dan sejenisnya. Seakan-akan Allah berkata kepada bangsa Indonesia yang mayoritas muslim: "Mengapa kamu mencari idiologi, falsafah, way of live, hukum, dllnya selain dari yang diturunkan Allah kepadamu? Apakah yang Allah berikan kepadamu tidak cukup? Padahal seluruh alam ini tunduk sepenuhnya pada aturan-aturan yang Allah turunkan kepadanya, baik secara terpaksa maupun sukarela. Tapi wahai bangsa Indonesia, setelah kamu diberi kebebasan apakah yang kamu terapkan dalam kehidupanmu, dien dari Allah atau dien dari selain-Nya?
Ayat ke 84 menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia yang peling beriman kepada Allah dan ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya, sebuah dien yang sejak awal dinamakan dengan al-Islam, yang dianut oleh mereka yang telah berserah diri (muslimin) dari generasi pertama Adam as dahulu sampai kepada Ibrahim as dan seterusnya sampai al-Islam yang terlengkap dan sempurna yang diturunkan Allah kepada Muhammad saw. Apakah bangsa Indonesia yang mayoritas mengaku muslim, masih ragu dengan hakikat kesempurnaan ajaran Islam sehingga mereka mau mencari ajaran selainnya?
Dijawab pada ayat 85, wahai bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, siapa saja diantara kamu yang mencari dan menerapkan ajaran selain dari Islam, maka tidak akan diterima, karena sesungguhnya ajaran yang diridhoi dan diterima di sisi-Nya hanyalah Islam, dan barangsiapa yang memilih selain Islam mereka akan mendapat kerugian dunia ahirat. Lihatlah bangsa-bangsa yang tidak menjadikan Islam sebagai ajarannya, mereka ditimpa kerugian dan di ahirat mereka akan disiksa.
Sebagaimana yang telah terjadi pada bangsa Indonesia yang mayoritas muslim saat ini, mereka mengaku beragama Islam, mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, namun anehnya mereka tidak menjadikan ajaran dan syari'at Islam sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak kemerdekaan lebih 60 tahun lalu, bangsa Indonesia yang telah mencampakkan syari'at Islam dari dasar negaranya tidak pernah mendapat keberuntungan, selalu mendapat kerugian, menjadi bangsa terbelakang, bangsa termiskin, padahal sumber daya alam mereka melimpah ruah. Kerugian terbesar kepada bangsa adalah hadirnya pemimpin dan elit yang tidak bermoral yang mengeksploitasi dan mengkorupsi milik negara dan rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Demikianlah ahirnya bangsa Indonesia menjadi bangsa terbelakang yang membuat malu siapapun yang mengaku sebagai bangsa Indonesia. Dan puncaknya adalah krisis multi dimensi yang diikuti dengan bencana-bencana yang menambah kerugian dan kesengsaraan bangsa Indonesia, ini baru di dunia, bagaimana halnya dengan di ahirat nanti?
Kemudian setelah ditimpa krisis multi dimensi dan bencana dahsyat, rame-rame bangsa Indonesia, terutama para ulama dan pemimpinnya meminta petunjuk kepada Allah agar diselamatkan dan dikeluarkan dari segala bencana yang tak tertanggungkan ini. Kita saksikan dari Presiden, politisi, ulama dan lainnya mengadakan berbagai acara di masjid-masjid agar mendapat petunjuk Allah. Tapi apakah mereka mendapatkannya? Ternyata tidak, kenapa?
Karena Allah tidak akan pernah memberi petunjuk kepada bangsa yang kafir setelah mereka beriman sebagaimana dinyatakan ayat 86. Allah tidak akan menolong bangsa yang telah bersepakat untuk menjadikan syari'atnya sebagai dasar negara, tapi setelah mendapat kemerdekaan mereka mencampakkan syari'at-Nya dan menggunakan sistem-sistem kafir sekuler dalam mengatur masyarakat. Sementara pada saat yang sama mereka tetap mengatakan sebagai muslim, meyakini nabi Muhammad sebagai rasul dengan memperingati hari maulidnya di istana negara, namun mereka mengingkari apa-apa yang dibawa oleh nabi Muhammad saw berupa syari'at Islam yang terang benderang dan lebih condong kepada sistem sekuler dan sistem yang tidak jelas dan mengikuti hawa nafsu. Merekalah orang-orang yang zalim, dan Allah tidak akan pernah memberi petunjuk kepada orang yang zalim.
Bangsa yang telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya, yang mengutamakan kekafiran dari keimanan, yang telah mencampakkan syari'at Islam, yang zalim, maka mereka itu tidak lain balasannya adalah ditimpa laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ketika laknat telah diputuskan, maka bangsa tersebut akan mendapat azab yang bertubi-tubi, mereka kekal dalam azabnya selamanya, dan mereka tidak akan pernah diberi penangguhan, baik di dunia maupun ahirat sebagaimana disebutkan ayat 87 dan 88. Maka itulah sebabanya, tidak mengherankan apabila bangsa Indonesia sejak mendapatkan kemerdekaannya 60 tahun lalu senantiasa ditimpa azab demi azab yang tak tertangguhkan. Azab terbesar adalah diberikan pemimpin-pemimpin yang telah menghancurkan bangsanya sendiri seperti Soekarno dan Soeharto yang pada ahirnya mengantarkan bangsa Indonesia menuju lembah krisis multi dimensi yang tidak berkesudahan. Demikian pula, ketika bangsa Indonesia tengah mencari solusi untuk mengatasi penderitaan mereka yang tak tertangguhkan, datanglah bencana demi bencana yang menambah hancurnya masyarakat, dan kekafiran sistem berbangsa dan bernegara telah melahirkan koruptor-koruptor bejat yang memakan uang negara yang menambah penderitaan dan keterbelakangan masyarakat. Semua azab ini tidak akan pernah berahir, dan pasti tidak akan pernah berahir, karena bangsa ini telah mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya akibat mereka kufur setelah beriman, akibat mereka mencampakkan sistem Islam dan syari'at-Nya setelah mereka menyepakatinya dan mengantarkan Indonesia menuju kemerdekaan.
Penderitaan dan kesengsaraan bangsa Indonesia masih dapat di ahiri dengan syarat yang telah ditentukan oleh Sang Pemberi laknat, yaitu mereka harus bertobat dan melakukan perbaikan sebagaimana dinyatakan ayat 89. Dalam hal ini, bangsa Indonesia harus bertobat seluruhnya. Makna tobat sebagaimana diterangkan para ulama adalah kembali ke pangkal jalan, kembali kepada keimanan setelah bergelut dengan kekafiran. Maka tobat bangsa Indonesia maknanya adalah kembali kepada perjanjian awal sebagaimana yang telah mereka putuskan sebelum mendapat kemerdekaannya, yaitu dengan menerapkan kembali syari'at Allah yang telah mereka campakkan dan gantikan dengan sistem kafir. Bangsa Indonesia harus mengembalikan syari'at Islam sebagai dasar berbangsa dan bernegara sebagaimana yang termaktub dalam sila pertama rumusan Piagam Jakarta. Dengan syari'at Islam yang agung dan sempurna inilah kemudian bangsa Indonesia yang mayoritas muslim mengadakan perbaikan dan membangun peradaban baru yang akan mengantarkannya sebagai bangsa maju, sebagaimana Islam telah mengantarkan bangsa Arab yang terbelakang dahulu menjadi bangsa yang besar, bahkan menjadi penyambung peradaban klasik dengan modern.
Namun setelah diberi peringatan, bangsa Indonesia tetap mau mempertahankan kekafiran dasar negaranya setelah mereka menerapkan syari'at-Nya, bahkan peringatan-peringatan yang telah diberikan kepadanya menambah kekafirannya dengan berbagai bentuk alasan yang dicari-cari, maka mereka tidak akan pernah diterima tobatnya lagi sebagaimana dimaksudkan ayat ke 90. Mereka itulah orang-orang yang sesat dalam kesesatannya, mereka akan tetap dilaknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya, dan dengan demikian mereka akan terus menerus mendapatkan azab yang semakin hari akan semakin dahsyat sebagai balasan atas kekufuran mereka. Bagi Allah Yang Maha Perkasa adalah sangat mudah untuk menimpakan azab kepada manusia-manusia yang ingkar kepada ajarannya. Jika Dia telah mengazab suatu bangsa, maka tidak ada satu kekuatanpun yang akan dapat mencegah dan menolongnya. Mereka akan terus menerus di azab sampai di hari kemudian kelak dan tidak ada seorangpun yang dapat menebus azabnya, walaupun mereka memiliki kekayaan berlimpah ataupun kekuatan besar sebagaimana disebutkan ayat ke 91.
Maka setelah pesan yang terang benderang ini, apakah bangsa Indonesia yang mayoritas muslim mau sadar dan bertobat kembali kepada Allah atau mereka akan tetap mempertahankan kekufurannya? Kekufuran bangsa Indonesia terhadap ajaran-ajaran Allah, tidak akan mengurangi sedikitpun Kekuasaan dan Kebesaran Allah atas alam raya ini. Bangsa Indonesia hanya diminta sadar dan memahami pesan-pesan yang diturunkan-Nya melalui ayat-ayat-Nya di dalam al-Qur'an, ataupun pesan-pesan tersirat yang dikirimkan melalui segala bentuk bencana yang ditimpakan kepada mereka. Apakah pesan Allah SWT melalui bencana tsunami di Aceh yang dinyatakan sebagai bencana kemanusian terbesar dan terdahsyat abad ini tidak menggerakkan bangsa Indonesia untuk berfikir tentang hidup dan kehidupannya. Apakah bencana tsunami di Aceh yang pesannya amat jelas dan terang benderang belum mampu membuka cakrawala berfikir bangsa Indonesia, sehingga diperlukan lagi berbagai bentuk bencana yang lebih dahsyat lagi yang menghancurkan ibukota Jakarta atau menenggelamkan pulau Jawa misalnya?
Apakah semua yang terjadi pada bangsa Indonesia sejak 60 tahun lalu belum cukup sebagai peringatan atas kelalaian mereka yang jauh dari ajaran Allah? Kekufuran mereka yang telah mencampakkan syari'at Allah dengan berbagai alasan? Kalau demikian adanya, maka janganlah heran jika bangsa indonesia tetap ditimpa segala bentuk musibah dan azab, karena memang mereka tetap berada dalam laknat Allah akibat penghianatan mereka kepada ajaran-ajaran-Nya, dan mereka tidak mau bertobat, kembali kepada jalan yang diperintahkan-Nya. Mereka tidak mau memahami pesan-pesan yang dikirimkan Allah melalui alam ini. Maka tidak mengherankan jika orang-orang seperti ustadz Habibullah yang menyatakan "sudah sepantasnyalah bangsa ini mendapat azab-Nya".

@@@@@@@@@@@@

Tanggal 26 Desember 2006, saya sudah berada di Banda Aceh kembali untuk mengenang dan merenungi peristiwa 2 tahun bencana tsunami yang telah meluluhlantakkan kota dan memakan korban besar serta kerugian yang banyak. Peringatan setahun tsunami tidak dapat saya hadiri, karena pekerjaan dan urusan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan. Kehadiran saya pada peringatan ke 2 tahun tsunami kali ini sangat spesial artinya bagi kehidupan pribadi saya, karena sejak ulang tahun yang ke 40, atau tepatnya pada tanggal 1 Agustus 2006, saya sudah memutuskan untuk hijrah sepenuhnya ke Aceh. Ingin mengabdikan sisa umur untuk kebangkitan dan kemajuan masyarakat Aceh yang menurut pengamatan saya sangat luar biasa, baik dari segi karakter, personalitas sampai sejarah dan potensi alamnya serta letak gegrafinya yang sangat strategis. Banyak teman-teman yang merasa heran kenapa saya memilih hijrah ke Aceh, tempat yang menurut sebagian mereka tidak memiliki prospek bagus untuk mengembangkan diri, padahal pilihan bagi orang seperti saya terbentang luas, dari Timur Tengah, Eropa, Amerika, Australia bahkan keluarga di Malaysiapun mengharap saya berhijrah ke sana. Justru inilah yang menjadi tantangan utama saya, pengalaman dan pengetahuan yang telah saya peroleh selama ini mudah-mudahan dapat dimanfaatkan untuk membangun masyarakat Aceh yang memiliki banyak sekali potensi dan keistimewaan. Bahkan keinginan saya untuk tinggal di Aceh bertambah kuat setelah saya berkeliling melihat alam dan masyarkat Aceh yang luar biasa dahsyatnya. Walaupun mereka di dera bencana, konflik dan perang yang berkepanjangan, namun tidak merubah jati diri mereka sebagai masyarakat yang akan bangkit dengan segala keutamaannya. Yang mereka perlukan adalah pembimbing yang berilmu luas, berpengalaman dan berani serta terjun langsung disamping pemimpin yang adil, amanah, tulus dan cerdas, yang akan menuntun mereka menjadi masyarakat agung dan utama.
Apalagi ketika saya bertemu dan berinteraksi aktiv dengan pemuda-pemuda gagah berani para mantan aktivis atau kombatan dan pejuang yang memiliki militansi tinggi menegakkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakatnya. Apa yang mereka rasakan, sangat saya fahami sebagai seorang mantan panglima mujahidin yang sejak umur 15 tahun menentang kezaliman rezim Soeharto ketika pro kelompok minoritas Kristen, terutama sikap represifnya terhadap gerakan Islam yang memaksa saya hijrah ke beberapa negara Islam bersama dengan teman-teman untuk mempersiapkan perlawanan selanjutnya. Pahit getir perjuangan mereka dalam membela masyarakat tertindas, atau melawan kebiadaban penguasa zalim sudah mendarah mendaging dan menjadi bagian dari kehidupan pribadi saya. Watak dan karakter serta perawakan masyarakat Aceh yang mirip dengan bangsa Arab, sebagai asal usul leluhur saya, menjadi daya tarik tersendiri buat saya. Bahkan wajah saya tidak merasa asing di tengah-tengah mereka, dan ketika saya mengatakan bukan berasal dari Aceh, tidak ada yang percaya. Hal ini telah menguatkan tekad saya untuk memilih Aceh sebagai destinasi kehidupan saya selanjutnya dalam mengabdikan diri kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Dan tentu, karena tekad bulat saya untuk menetap di Aceh, akhirnya Allah memberikan banyak jalan, saya bertemu dengan orang-orang yang mendukung perjuangan saya. Sebagaimana dikatakan Imam Syafi’e, bahwa jika seseorang berhijrah karena Allah untuk menggapai keridhaan-Nya, maka Allah pasti akan melapangkan jalan orang tersebut, dan dijanjikan kepada mereka untuk mendapat kehidupan luas sebagaimana dijanjikan al-Qur’an. Bahkan akan diberikan apa-apa yang telah ditinggalkannya pada kampung halamannya. Di Banda Aceh, saya bertemu dengan seorang gadis cantik bernama Cut Syarifah Radhiah al-Habsyi, berasal dari Bugak, Matang, Bireuen. Ketika berkenalan dengan keluarganya, ternyata saya kenal dengan abangnya bernama Sayid Wira, yang menerima jenazah Kombes Sayid Husaini ketika saya serahkan kepada keluarganya. Kami nyambung dan saya diterima di keluarga besarnya. Akhirnya setelah melalui berbagai proses lamaran dan lainnya, pada tanggal 5 Mei 2007, kami melangsungkan pernikahan di Bugak, Bireuen. Ternyata Cut Ipah, adalah keturunan dari Habib Abdurrahman al-Habsyi yang terkenal dengan julukan Habib Bugak Aceh, seorang Habib-Ulama yang sangat dipercayai Sultan Aceh pada masa Sultan Mahmud Syah, Sultan Muhammad Syah dan Sultan Mansyur Syah.

@@@@@@@@@@@

Salah seorang keluarga besar al-Habsyi bernama Sayed Dahlan menceritakan pengalaman beliau. Ketika hari ke 44 tsunami, datang beberapa Ulama dan Mullah dari Iran yang di antar oleh beliau. Sepanjang perjalanan di Banda Aceh, salah seorang Mullah Iran ini selalu menyebut ”salman bireuen, salman bireuen” berulang-ulang. Karena seringnya mengucapkan kalimat tersebut, membuat Sayed Dahlan penasaran dan bertanya apa arti kepada penterjemah yang menyertainya. ”Salman bireuen”, bahasa Parsi, artinya ”jalan kemenangan”. Kemudian Sayed bertanya, apa maksud Mullah Iran ini menyatakan kalimat itu? Maka dijelaskan, bahwa bencana tsunami yang menimpa masyarakat Aceh adalah sebuah jalan kemenangan, jalan yang akan mengantarkan masyarakat Aceh menuju kemenangan dan kemajuan. Untuk mencapai sebuah kemenangan diperlukan sebuah pengorbanan. Sama halnya dengan seorang ibu yang akan melahirkan. Melahirkan anak adalah sebuah kemenangan besar bagi seorang ibu, namun untuk mencapai kemenangan besar tersebut, sang ibu harus bersabar menunggu selama 9 bulan, menunggu anaknya lahir dengan segala penderitaannya. Dan ketika waktu akan melahirkan tiba, sang ibu harus berkorban dan bertaruh antara hidup dan mati, berdarah-darah untuk dapat melahirkan anaknya dengan selamat. Terkadang sang ibu meninggal dalam melahirkan anaknya, namun semua itu direlakannya untuk menggapai harapan sebuah kemenangan, bireuen.
Hal inilah yang terjadi di Aceh, setelah mengalami penderitaan demi penderitaan, sebagaimana menderitanya seorang ibu yang hamil, yang telah memakan korban hampir 50 ribu jiwa dalam konflik sepanjang 30 tahun terakhir. Namun dalam bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, hampir 170 ribu rakyat Aceh meninggal, belum lagi yang dinyatakan hilang tanpa jejak, hanya dalam hitungan 30 menit hantaman gelombang tsunami. Inilah sebuah kelahiran yang maha dahsyat, sebuah jalan kemenangan yang mahal sekali harganya, sebuah jalan yang akan mengantarkan Aceh kepada suasana baru, suasana kelahiran kembali sebagai sebuah bangsa besar, sebagaimana keagungan dan kegemilangan generasi terdahulu yang telah menjadi motor penggerak Islamisasi Nusantara yang berpusat di Kerajaan Islam Jeumpa, Kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Pasai dan puncaknya pada Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada masa 30 tahun pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Setelah lebih 2 tahun tsunami, saya melihat banyak perubahan yang terjadi di Aceh. Walaupun kota Banda Aceh porak poranda oleh tsunami, namun setelah tsunami ibukota Nanggroe Aceh ini jauh berubah dan berseri dengan spirit yang baru. Bahkan teman-teman saya penduduk asli menganggap kota semakin ramai, mobil dan motor semakin banyak yang menjadikan jalan semakin macet. Restoran dan rumah makan semakin banyak, hotel-hotel kelas dunia mulai berdiri megah, bahkan bangunan-bangunan indahpun mulai berdiri dengan bantuan dari negara asing. Dan alhamdulillah, kami dari Hilal Merah dapat memberikan sumbangan dengan mencarikan bantuan kepada Kesultanan Oman untuk membangun sebuah Masjid Agung yang besar dan indah di Lampriet Banda Aceh yang dianggarkan sekitar 2 juta dolar AS. Akhirnya tidak diragukan bahwa tsunami membawa perubahan yang drastis pada Aceh, sebuah salman bireuen......
Sebelum terjadinya tsunami, kita tidak dapat melihat orang-orang asing hilir mudik seenaknya. Tapi kini, mereka dengan berbagai bentuk bendera, baik melalui badan-badan dunia PBB ataupun NGO asing dan lokal, berkeliaran semauanya, bahkan sudah menembus gunung dan desa terpencil dengan berbagai program kemanusian, penelitian sampai pemberdayaan ekonomi dan masyarakat. Kini Aceh tidak ubahnya seperti kota internasional yang dipenuhi dengan relawan dan pekerja sosial asing. Bersamaan dengan itu, tentu terjadi perubahan dan pergeseran di tengah masyarakat. Generasi muda Aceh sudah dapat berinteraksi dengan pendatang asing, bahkan dapat bekerja dengan gaji yang besar. Salah seorang putri Aceh yang bekerja pada NGO asing menulis dalam Serambi Indonesia, tentang keprihatinannya terhadap beberapa teman wanitanya yang rela menjadi simpanan atau piala bergilir lelaki asing dengan iming-iming materi dan janji pernikahan yang tak kunjung terjadi.
Bencana Gempa dan tsunami telah membawa masalah konflik yang berlarut-larut di Aceh, menjadi masalah internasional, yang pada akhirnya melibatkan badan-badan dunia untuk menyelesaikannya. Pemerintah Indonesia tidak ada pilihan lain dalam menghadapi tekanan dunia internasional, kecuali tunduk mengadakan perjanjian perdamaian. Maka terjadilah perdamaian antara GAM dengan Pemerintah RI yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 yang dikenal dengan MoU Helsinki, yang diharapkan dapat mengantarkan masyarakat Aceh menuju masyarakat aman dan sejahtera, termasuk melalui pemilihan umum secara langsung yang di adakan pada 11 Desember 2006. Pemilihan umum yang bersejarah ini, karena baru pertama kali masyarakat Aceh dapat memilih pemimpinnya secara langsung, ternyata dimenangkan oleh pasangan kader dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Irwandi-Nazar. Kemenangan mereka tentu merupakan signal jelas dari masyarakat Aceh yang menginginkan perubahan yang dipimpin oleh generasi muda yang diharapkan dapat memahami aspirasi, harapan dan cita-cita masyarakat Aceh.
Bencana dahsyat gempa dan gelombang tsunami yang mengerikan dan memakan korban besar, ternyata membawa hikmah besar sekali pada perubahan Aceh. Aceh yang terisolir kini menjadi tempat yang terbuka. Aceh yang tebelakang, kini didatangi SDM-SDM kelas dunia yang membangunnya, Aceh yang miskin, kini dicurahkan dana yang sangat besar untuk membangun infrastrukturnya. Menurut data Kontras no.400, dana pembangunan yang tekucur ke Aceh pasca tsunami adalah: tahun 2005 sebanyak Rp. 6 trilyun, tahun 2006 sebanyak Rp.17 trilyun, tahun 2007 sebanyak Rp.19,216 trilyun dan tahun 2008 diperkirakan sekitar 14, 53 trilyun. Jadi 4 tahun ini, dana pembangunan di Aceh sebesar lebih Rp. 57 trilyun.
Aceh yang selama ini menerima kekejeman dan kezaliman, telah mendapat kesempatan besar untuk bangkit menjadi sebuah pusat peradaban Islam di Nusantara Raya dengan segala potensi dan keutamaan yang dimilikinya. Berkah dan hikmah tsunami dan konflik berkepanjangan yang telah diderita masyarakat Aceh telah berbuah dengan kesempatan dan kemajuan yang tengah mereka nikmati saat ini. Namun yang perlu dicatat, setiap nikmat adalah untuk disyukuri agar nikmat itu benar-benar menjadi hal yang sangat menguntungkan dan bermanfaat, bukan sebaliknya yang dapat mendatangkan azab dan bencana akibat keingkaran kepada nikmat yang telah diberikan.
Kini Aceh memiliki kesempatan untuk bangkit dibawah kepemimpinan yang benar-benar dikehendaki masyarakatnya. Apakah kesempatan emas ini akan dikelola dengan baik atau hanya akan menjadikan para pemimpinnya seperti yang sudah-sudah, terlibat skandal dan korupsi yang menghancurkan masyarakat. Al-Qur’an telah mengingatkan, jika generasi pasca tsunami yang tengah menikmati jalan kemenangan ini lalai dan durhaka juga, maka ”jika mereka durhaka, maka Allah pasti akan mengganti mereka dengan generasi yang lain, dan mereka tidak akan melakukan kedurhakaan seperti generasi terdahulu......
Pengalaman spiritual saya mengatakan, bahwa ruh dan jiwa Aceh adalah Islam, maka tanpa Islam, Aceh sama artinya dengan manusia tanpa nyawa. Sama seperti mummi Fir’aun yang di pajang Museum London, bentuknya memang manusia dan tetap manusia walaupun sudah berumur lebih 4000 tahun, tapi hanya sebagai tontonan saja. Itulah Aceh tanpa Islam. Jalan kemenangan yang diperoleh masyarakat Aceh ini, bukan karena kehebatan mereka, kalau memang mereka hebat, pasti mereka kuasa untuk menolak bencana tsunami, tapi toh tsunami terjadi dan memakan korban. Tapi jalan kemenangan ini adalah taqdir Allah untuk kemenangan Islam dan kaum Muslimin, yang diharapkan dapat segera di gerakkan oleh masyarakat Aceh, sebagaimana dilakukan nenek moyang mereka yang telah berhasil menggerakkan Islamisasi di Nusantara, hingga menjadikannya sebagai sebuah wilayah mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Jalan kemenangan yang telah membawa perdamaian dan pembangunan di Aceh ini bukan hanya akibat perjuangan segelintir orang, namun akumulasi dari doa para wali, para salihin, para ulama, para syuhada dan kaum tertindas sejak pertama kali Islam bertapak di bumi Serambi Mekah ini. Darah-darah syuhada yang memenuhi setiap jengkal tanah Aceh, doa wali dan ulama yang memenuhi langit Aceh, amal salih para mujahid pembela Allah telah memenuhi rongga udara Aceh, air mata ikhlas kaum mustad’afin yang memenuhi sungai dan laut Aceh, telah menjadikan Aceh sebagai sebuah wilayah yang diberkati Allah, baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur.....
Itulah sebabnya, walaupun lebih 500 tahun lamanya kaum penjajah dan antek-anteknya berusaha untuk menakluki bumi Aceh, niat mereka tidak pernah terkabul sepenuhnya. Karena bumi Aceh adalah bumi yang suci dan dipelihara Allah, sebagaimana Allah memelihara tanah haram Mekkah. Apabila terjadi kemungkaran, maka Allah akan segera membersihkannya sebagaimana yang terjadi pada saat tsunami. Namun sedikit sekali manusia yang berfikir dengan hati jernihnya, sehingga mereka berupaya membangun maksiat-maksiat baru dengan melibatkan manusia-manusia munafikin dan kafirin dalam membangun masyarakat Aceh. Maka perbuatan maksiat dan sia-sia ini, perbuatan membangun masyarakat dengan sistem dan idiologi selain Islam, tidak akan pernah mendapat keridhaan Allah, tidak akan membangkitkan masyarakat Aceh, bahkan akan menjadikan masyarakat Aceh sebagai masyarakat terbelakang dan kehilangan jati diri, sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Islam Turki masa Kemal Attaturk sampai sekarang yang jauh terbelakang dan tertinggal. Itulah sebabnya, masyarakat Turki yang sudah muak dengan janji-janji sekulerisme Barat, berbondong-bondong kembali ke Islam dengan mengangkat Presiden dan Perdana Menteri dari kalangan Islamis. Apakah realitas ini tidak cukup utuk para pemimpin dan cendekiawan Aceh Serambi Mekkah....?.
Jadi tidak ada pilihan, Aceh hanya akan memperoleh kegemilangan dalam arti sebenar-benarnya dengan Islam. Dan kegemilangan Aceh akan membawa kegemilangan Islam di rantau ini, bahkan kegemilangan Islam di seluruh dunia...... geumilang Acheh, geumilang Islam....

Bugak, Bireuen 9-9-07, jam 10:20





2 comments:

tmn.cuepacs@gmail.com said...

Ya salaam sdr Hilmy. Tulisan berisi, padat.

Unknown said...

Easy "water hack" burns 2 lbs OVERNIGHT

More than 160 thousand men and women are losing weight with a easy and SECRET "liquids hack" to drop 2 lbs each night as they sleep.

It is very easy and works with everybody.

Here are the easy steps for this hack:

1) Go grab a drinking glass and fill it up with water half the way

2) And then use this amazing hack

you'll be 2 lbs lighter the very next day!